BPOM Diminta Transparan, Penyebab Kematian Etilen Glikol Bukan BPA!

- 27 Oktober 2022, 22:23 WIB
Isi ulang air kemasan
Isi ulang air kemasan /Agnes Aflianto/ARAHKATA

ARAHKATA - Ramainya pembicaraan zat kimia berbahaya etilen glikol (EG) yang diduga menjadi penyebab kematian puluhan anak di Indonesia akibat gagal ginjal akut, membuat publik mengaitkannya dengan rencana diskriminatif Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang berupaya untuk mengeluarkan kebijakan pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat.

Sementara, kemasan plastik polyethylene terephthalate (PET) tidak dilabeli ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dan Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo mendesak BPOM untuk juga melabeli kemasan PET dengan ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’ karena peristiwa keracunan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol yang menyebabkan kematian lebih dari 100 anak, sementara tidak ada kasus kematian yang terjadi akibat paparan BPA.

Baca Juga: 7 Mantan Kapolri Turun Gunung Temui Listyo Sigit Prabowo

Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 menyebutkan tentang resiko bahaya zat kimia dalam kemasan, dan untuk kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah Etilen Glikol dan Dietilen Glikol.

Kedua zat itulah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia.

Beberapa pengamat kebijakan melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan BPA ini menunjukkan sebuah kebijakan yang janggal dan diskriminatif mengingat resiko bahaya Etilen Glikol dan Dietilen Glikol yang telah memakan banyak korban, lebih berbahaya dibanding BPA yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Baca Juga: Update 269 Kasus Gangguan Ginjal Akut di 27 Provinsi Indonesia

Bahaya Etilen Glikol dan Dietilen Glikol yang digunakan pada proses pembuatan kemasan Plastik PET ini lebih jelas dan nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat diantara para ahli.

“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah di Jakarta, Jumat 21 Oktober 2022 lalu

Halaman:

Editor: Agnes Aflianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x