Baca Juga: Menparekraf Sandiaga Uno Imbau Anak Muda: Jangan Jadi Kaum Rebahan
Lantaran itu, lanjut dia, selain ingin mengerek angka kontribusi tersebut, ketentuan bisnis koperasi dalam UU P2SK juga diharapkan dapat meminimalisasi praktik penipuan investasi “berkedok” koperasi yang meresahkan masyarakat.
Dikatakan, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah yang dibentuk oleh Kementerian Koperasi dan UKM menilai, berbagai kasus penipuan tersebut muncul akibat minimnya pengawasan operasional bisnis koperasi. Untuk itu, perlu pembaharuan dari sisi regulasi dan payung hukum keberadaan koperasi dalam UU No. 25 Tahun 1992.
“Pengawasan koperasi dalam UU tersebut dianggap salah karena mindset-nya tidak digolongkan sebagai lembaga keuangan. Jadi, dalam UU No.25 Tahun 1992, koperasi tidak dianggap Lembaga keuangan, padahal pada praktiknya, mereka melakukan penghimpunan dana dari luar anggota. Selama ini, koperasi yang bergerak di sektor keuangan mirip dengan bank atau shadow banking,” terangnya.
Padahal, bisnis koperasi berbeda dengan bank yang telah diatur secara ketat (high regulated) oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Misalnya, jika bank menetapkan bunga terlalu tinggi, maka ketiga institusi tersebut bisa menegurnya.
Begitu juga soal transparansi, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tidak diwajibkan menyampaikan laporan keuangan secara rutin maupun real time seperti bank. Koperasi memang merupakan institusi save regulated, dalam operasionalnya dapat mengatur diri sendiri.
Lantaran pengawasan kurang, diakui Anis, maka pengelolaan dana menjadi tidak transparan serta masuk dana investasi cukup besar, tetapi sarat dengan terdapat penyalahgunaan. Rentetan kejadian itu semakin memicu keresahan masyarakat pelaku koperasi.***