Penggantian Kapolri sedang Digodok, Ini Catatan LPSK untuk Kapolri Baru

- 18 Januari 2021, 10:06 WIB
Ilustrasi calon Kapolri dan Wakapolri
Ilustrasi calon Kapolri dan Wakapolri /Arahkata/

ARAHKATA - Masa penggantain Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) semakin hangat terdengar. Diinformasikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menggelar uji kepatutan dan kepatuhan terhadap calon tunggal kapolri yang diserahkan presiden oleh DPR RI. Menanggapi pergantian Kapolri tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun memiliki catatan sederet pekerjaan yang menanti kapolri baru.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu memulai catatan tersebut dengan menyinggung mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan kapolri menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri?

Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindak brutalitas oknum polisi merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan. Pelaku dominan oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.

Catatan LPSK tahun 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sementara di 2019 lebih tinggi dengan 24 permohonan. Artinya, terjadinya penurunan sebesar 54% perkara penyiksaan pada tahun 2020 dibanding 2019. Namun, bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020, terdapat 37 Terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan.

Baca Juga: Perlunya Dukungan Berbagai Pihak, Bagi Produk Dalam Negeri

“Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan 6 orang laskar FPI. Rekomendasi Komnas HAM, meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin, dalam keterangannya, Minggu 17 Januari 2021.

Menurut Edwin, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana. “Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi, karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan,” kata Edwin.

Kedua, bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoax dan ujaran kebencian (hate speech) yang terus meningkat beberapa tahun terakhir? Polda Metro Jaya di 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoax dan hate speech. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.

“Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tanya Edwin.

Halaman:

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x