Para Perokok Berisiko Lebih Besar Terkena Tuberkulosis

- 4 Desember 2022, 11:12 WIB
Ilustrasi perokok
Ilustrasi perokok /Ilustrasi/Pixabay

ARAHKATA - Guru Besar FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan para perokok berisiko lebih besar untuk sakit.

Hingga mengalami kematian akibat tuberkulosis (TB) dan terganggunya penyembuhan penyakit TB-nya.

Dia melalui pesan elektroniknya, Sabtu, menyebutkan data memperlihatkan satu dari lima pasien TB dunia ternyata berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Baca Juga: Delapan Kiat Liburan Akhir Tahun yang Aman, Nyaman, Sesuai Kantong

Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan ada sekitar 34,5 persen penduduk Indonesia merokok atau mengkonsumsi tembakau dalam berbagai jenisnya.

Sekitar 70,2 juta orang dewasa di Indonesia menggunakan produk tembakau (tembakau hisap, tembakau yang dipanaskan, tembakau kunyah) saat ini, baik setiap hari atau kadang-kadang.

Rinciannya yakni sebanyak 33,5 persen perokok, 1 persen pengguna tembakau kunyah dan 3 persen pengguna rokok elektronik. Sementara menurut jenis kelamin, 65,5 persen laki-laki dan 3,3 persen perempuan Indonesia merokok atau menggunakan produk tembakau.

Baca Juga: Ulama 212 Apresiasi KSAD Dudung Fokus Bangun Kecintaan Rakyat terhadap TNI

Prof Tjandra berpendapat, perlu ada integrasi antara program TB dan program rokok dan salah satu bentuk nyatanya yakni setiap pasien TB harus ditanya apakah punya kebiasaan merokok.

Bila pasien mengiyakan maka dia harus segera dimasukkan ke dalam program berhenti merokok di Puskesmas dan Rumah Sakit.

"Saat ini Kementerian Kesehatan dalam proses akhir penyusunan buku Pedoman Integrasi Layanan Upaya Berhenti Merokok dan Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yang mudah-mudah dapat segera diselesaikan dan diterapkan di lapangan," kata dia.

Baca Juga: Duka Gempa Cianjur: 331 Korban Meninggal Dunia, 11 Warga Masih Dicari

Selain berisiko TB, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu juga mengingatkan kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Saat ini, kata dia, dilakukan uji coba di beberapa kabupaten tentang deteksi PPOK pada perokok dengan kuesioner yang lalu dikonfirmasi melalui spirometri. Para perokoknya kemudian dimasukkan dalam program berhenti merokok.

"Tahap ini masih dalam bentuk konsultasi tetapi ke depan akan digunakan juga obat dan atau alat tertentu," tutur Prof Tjandra.

Baca Juga: Pemerintah akan Beri Subsidi Masyarakat untuk Beli Sepeda Motor Listrik Mulai 2023

Dia melanjutkan, kebiasaan merokok juga berhubungan dengan kejadian stunting.

Data yang dipresentasikan Deputi Kepala BKKBN pada pertemuan ketujuh Walikota/Bupati se Asia Pasifik tentang kesehatan (“7th Asia Pacific Summit of Mayors”) 2 Desember 2022 di Bali.

Menunjukkan anak yang tinggal dengan orangtua yang tidak merokok tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi daripada anak dengan orangtua perokok.

Baca Juga: Nadiem Makarim: 320.000 Guru Honorer Akan Dingkat Jadi ASN PPPK Tahun Ini

Data juga memperlihatkan apabila anak-anak tidak terpapar rokok, maka angka stunting dapat turun sampai satu persen dan kebiasaan merokok atau menggunakan tembakau pada masa kehamilan akan meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anaknya.

Dia menambahkan, orang-orang yang berhenti merokok, selain yang di puskesmas, mereka juga bisa mengikuti program Quitline berhenti merokok dengan menghubungi nomor telepon 08001776565 untuk mendapatkan menghentikan kebiasaan merokok.

Baca Juga: Geger Wanita Penyusup Sidang Kasus Brigadir J, Ingin jadi Istri Kedua Sambo

Rumah Sakit Persahabatan Jakarta juga membuka klinik berhenti merokok.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x