Iran Tutup Perbatasan Irak Usai Ulama Syiah Pensiun dari Dunia Politik

31 Agustus 2022, 13:49 WIB
ilustrasi demonstrasi Afrika /Fajrul_Falah/

ARAHKATA - Pimpinan ulama Syiah paling berpengaruh di Irak, Muqtada al Sadr dikabarkan pensiun dari dunia politik.

Hal itu memicu kontra dan demonstrasi para pengikutnya.

Menanggapi itu, Iran menutup perbatasannya dengan Irak pada Selasa 30 Agustus 2022.

Jutaan orang Iran melakukan perjalanan ke Karbala setiap tahun untuk ziarah Arbain.

Baca Juga: Ulama Syiah Irak Muqtada al-Sadr Mogok Makan, Tuntut Akhiri Kekerasan

Peringatan tersebut menandai berakhirnya masa berkabung 40 hari untuk cucu Nabi Muhammad, Imam Hussein. Arbain jatuh pada 16-17 September tahun ini.

Namun, pemerintah Iran telah menutup perbatasannya bagi jutaan peziarah yang berniat berjalan kaki ke Karbala.

Pihaknya bahkan menghentikan semua penerbangan menuju Irak. Iran juga merencanakan dua penerbangan darurat untuk mengevakuasi jemaah haji dari Najaf.

Baca Juga: Duh! Irak Diterjang Badai Pasir, Warga Terkena Penyakit Pernapasan

"Perbatasan dengan Irak telah ditutup. Karena masalah keamanan, warga Iran perlu menahan diri untuk tidak bepergian ke Irak sampai pemberitahuan lebih lanjut," jelas Wakil Menteri Dalam Negeri Iran, Majid Mirahmadi, dikutip Arahkata Rabu 31 Agustus 2022.

Pemberitahuan itu menyusul bentrokan hebat yang menewaskan 23 orang di Baghdad.

Kekerasan tersebut berakar dari kebuntuan politik di Irak. Akibatnya, negara itu belum memiliki pemerintahan baru selama hampir setahun terakhir.

Baca Juga: Sebanyak 12 Rudal Iran Jatuh di Arbil Irak, Klaim Target ke Israel

Ketegangan kemudian meningkat saat al-Sadr mengumumkan akan meninggalkan politik pada Senin 29 Agustus.

Para pendukungnya lantas menyerbu kompleks pemerintahan di Zona Hijau.

Pertempuran mereka dengan faksi-faksi Syiah saingan pro-Iran berkecamuk hingga Selasa 30 Agustus. Hingga kini, petugas medis mendapati 380 orang yang terluka dalam bentrokan.

Baca Juga: Minta Bantuan Jokowi, TKW di Irak: Tolong Pulangkan Saya Pak!

Sebagian mengkhawatirkan, gejolak tersebut dapat menyebabkan konflik sipil baru. Analis mengatakan, al-Sadr tengah memobilisasi loyalisnya demi menekan lawan. Sehingga, dia dapat memiliki pengaruh dalam pembentukan pemerintahan baru.

"Apa pun artinya, dalam gaya [Gerakan] Sadrist yang khas, selalu ada penarikan kembali yang dapat diprediksi," terang analis dari European Council on Foreign Relations (ECFR), Hamzeh Hadad.

"Yang kedua, dan dugaan yang lebih menakutkan seputar ini adalah bahwa dia memberi para pengikutnya persetujuan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan," tambah dia.***

Editor: Tia Martiana

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler