Isu Radikal dan Terorisme Jadi Tanggung Jawab Bersama

16 November 2020, 21:25 WIB
Suasana perkuliahan di salah satu kampus di Jakarta. /Arahkata.com

 

ARAHKATA - Dunia pendidikan menjadi salah satu tameng dalam menangkal tumbuhnya radikalisme dan terorisme. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah dalam mengentaskan dua tindakan yang saling berhubungan tersebut. Namun, seluruh pihak baik itu pemerintah selaku penyelenggara keamanan dan kenyamanan, guru, dan orang tua juga mesti terlibat.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Budi Luhur Cakti mengatakan, apa yang dilakukan di sekolah-sekolah budi luhur dan kampus dalam hal ini kaitannya dengan isu radikal dan terorisme, pihaknya yakin isu Radikal dan Terorisme menjadi tanggung jawab bersama bukan hanya tugas pemerintah.

"Beberapa kurikulum juga sudah merespon tentang hal ini. Kesuksesan tergantung dari para guru/dosen dan juga murid serta orang tua. Tidak serta merta kurikulum nya saja yang dibuat," ungkap Kasih, saat dihubungi kepada arahkata.com, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Selain Kapolda, Kapolri Copot Dua Kapolres

"Saya rasa pemerintah sudah mulai bergerak. BNPT waktu ceramah di kampus sudah membeberkan detail, bahwa ini adalah masalah komplek dan harus di selesaikan bersama-sama," lanjutnya.

Hingga saat ini Budi Luhur telah melakukan upaya dengan menempel pesan-pesan moral Budi Luhur di hampir seluruh bangunan, taman kampus. Selain itu, mata kuliah kebudiluhuran yang diberikan salah satunya dengan mengajak diskusi tentang radikalisme dan terorisme, mengapa terjadi?

"Timbulkan rasa kemanusiaan dan cinta tanah air. Selain itu lagu Indonesia Raya berkumandang tiap hari jam 8 pagi di kampus dan ucapan Pancasila tepat jam 12 siang. Ditambah lagi mengundang pihak BNPT, dengan menyelenggarakan ceramah khusus mahasiswa baru, tentang bahaya radikalisme dan terorisme," ungkapnya.

Baca Juga: Meski di Pengungsian, Warga Desa 'Merapi' Tetap Aktivitas Bertani dan Beternak

Mengajak Para Aktivis

Dalam realisasinya pemerintah harus mendata dan mengajak para aktivis penyintas untuk bergabung dalam program-program deradikalisasi. Karena orang-orang ini jika tidak digunakan tentu gerakannya akan semakin kecil padahal gerakkan mereka baik di tengah masyarakat.

"Bukan tanpa beban, gerakan-gerakan Mandiri seperti ini tentu hambatannya akan banyak. Bisa saja hanya mampu bersuara menyampaikan pendapat. Padahal di lapangan mereka harus bertemu dengan masyarakat," ujar Politikus dan Pengamat Radikalisme dan Terorisme, Ferdinand Hutahaean.

"Berbicara, berdiskusi menyampaikan pendapat dan lain-lain dan itu semua butuh operasional atau pembiayaan. Intinya adalah bagaimana pemerintah mengajak kelompok-kelompok masyarakat ini jangan hanya mengandalkan program-program pemerintah," sambungnya.

Baca Juga: Meski di Pengungsian, Warga Desa 'Merapi' Tetap Aktivitas Bertani dan Beternak

Lebih jauh, mantan politisi Partai berlambang Bintang Mercy ini mengatakan, saat ini pergerakkan pemerintah yang bergerak sendiri menjadi hambatan dan hasilnya sekarang bisa dilihat secara nyata di lapangan. Bahwa gerakan-gerakan radikalisme kecil, justru membesar.

"Maka sebaiknya pemerintah mengajak kelompok masyarakat. Apakah itu perseorangan atau kelompok-kelompok organisasi apapun yang terlihat mempertahankan dan merawat toleransi," katanya.

"Menjaga keragaman untuk menjadi kepanjangan tangan pemerintah di bawah. Karena ini akan menjadi artinya lebih konkrit dan besar. Apalagi dibantu oleh pemerintah agar mereka semakin punya cara-cara yang sistematis," ucap Ferdinand.

Editor: Mohammad Irawan

Tags

Terkini

Terpopuler