Badai PHK Melanda, Disnakertrans Minta Perusahaan Berikan Pilihan Lain

1 November 2022, 11:10 WIB
Ilustrasi pekerja. /Antara/Hafidz Mubarak/

ARAHKATA - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar mencatat 43.567 karyawan di Jabar menjadi korban PHK 87 perusahaan hingga 29 September 2022.

Jumlah tersebut merupakan akumulasi PHK selama pandemi hingga hadirnya perang Ukraina dan Rusia yang menambah pukulan bagi pelaku industri di Jabar.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Rachmat Taufik Garsadi mengatakan, untuk data terbaru masih terus diklarifikasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dan Disnaker kabupaten/kota.

 Baca Juga: Kapolda: Peresemian K9 Menjadi Momentum Peningkatan Integritas Polri

"Ancaman badai PHK masih bisa terjadi. Adapun daerah-daerah/Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang rawan terjadinya gelombang PHK adalah daerah-daerah kantung industri, terutama industri padat karya seperti garmen, tekstil dan lainnya yang berorientasi eksport, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Subang,"ujarnya pada Senin, 31 Oktober 2022.

Taufik pun menjelaskan penyebab industri padat karya rentan mem- PHK karyawan dikarenakan untuk Industri padat karya ongkos/biaya tenaga kerja mencapai di atas 50 persen dari total biaya produksi, sehingga pada saat ada penurunan order biaya tenaga kerja yang besar menjadi aspek dilakukannya PHK terhadap pekerja/buruh untuk menstabilkan kondisi perusahaan.

Di sisi lain industri padat karya ini turn over pekerjanya relatif tinggi disbanding industri-industri lain, dikarenakan kebanyakan Industri Padat Karya hubungan kerja dengan pekerja/buruhnya adalah Pekerja Kerja Waktu Tertentu (PKWT)/kontrak, yang sangat rentan terkena PHK/tidak diperpanjang kontraknya pada saat habis kontrak.

 Baca Juga: Sidang Etik Polri Pecat Brigjen Hendra Kurniawan dari Kepolisian

Adapun penyebab PHK masal di antaranya saat ini dunia industri belum sepenuhnya bangkit dari krisis akibat Pandemi COVID-19.

"Sebab lainnya besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk beberapa daerah dinilai sudah terlalu tinggi atau di atas Rp 4 juta yang mengakibatkan industri terutama industri padat karya sudah tidak feasible. Kemudian adanya alih teknologi dan metode kerja sistem robotik, metode kerja WFH, WFA, dan lainnya,"ujar Taufik.

Pihak pun menyebut, kesalahan pengusaha dalam pengelola bisnis/usaha menjadi salah satu sebab gelombang PHK di Jabar.

 Baca Juga: Laporkan Jika Menjadi Korban Kekerasan, Kerahasiaan Dijamin

Menurut dia, selain tekstil, hampir semua sektor terutama yang berientasi kepada ekspor seperti industri garmen, elektronik, otomotif, dan lainnya yang bakal terimbas oleh resesi dunia.

Dengan adanya badai tersebut, menurut Taufik ada jalan terbaik dan ada opsi lain selain PHK.

" PHK dalam Undang-Undang merupakan opsi terakhir yang dapat dilakukan, sebelum terjadi/dilakukan PHK kepada pekerja/buruh ada hal-hal yang bisa dilakukan, di antaranya melakukan efisiensi, dengan cara mengurangi upah dan fasilitas pekerja level atas, misalnya tingkat manajer dan direktur,"katanya.

 Baca Juga: BPOM Ungkap Dua Perusahaan Farmasi Ini Melanggar Standar Batas EG dan DEG

Opsi lainnya, mengurangi shift kerja, membatasi/menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya, dan memberikan pensiun dini bagi yang sudah memenuhi persyaratan.

"Pemerintah pun mengeluarkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk meningkatkan daya beli pekerja/buruh yang menurun, pengoptimalisasian Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Penyediaan pelatihan (upskilling dan reskilling) bagi para pekerja yang ter PHK maupun para pencari kerja melalui program Kartu Prakerja," tuturnya.

Pemerintah pun melakukan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi para pekerja yang ter PHK yang akan memulai usaha rintisan dan memberikan layanan digital SIAP kerja berupa akses ke pelatihan-pelatihan dan pasar kerja.

 Baca Juga: Sidang Memanas, Hakim Sebut ART Ferdy Sambo, Susi Bisa Terancam Pidana

Adapun harapan dengan bantuan yang diberikan tersebut adalah semaksimal mungkin pemerintah mencegah terjadinya PHK. Jikapun harus PHK hal tersebut merupakan langkah terakhir yang diambil.

"Dan dengan program-program yang sudah dibuat oleh pemerintah diharapkan para pekerja/buruh yang terkena PHK dapat segera berkerja kembali dengan dapat diserap oleh pasar kerja, ataupun bisa merintis usaha sindiri/mandiri, sehingga Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tidak bertambah besar," ucapnya.

Taufik menambahkan, terkait penetapan UMK itu sudah ada aturan dan mekanismenya, dimana untuk penetapan UMK sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 36 Tahun 2021.

 Baca Juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Bareskrim Dalami 3 Perusahaan Farmasi

"Terkait besaran kenaikan UMK kita masih menunggu data-data indikator perekonomian yang digunakan dalam perhitungan formulasi penetapan Upah Minimum, berdasarkan informasi kemungkinan minggu kedua November data-data indikator tersebut akan disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI kepada Gubernur sebagai dasar penyesuaian Upah Minimum," pungkasnya.***

 

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Tags

Terkini

Terpopuler