AILA Indonesia Menolak Disahkannya RUU TPKS

- 13 April 2022, 23:37 WIB
UU TPKS Disahkan DPR RI, Pengertian dan Poin Penting UU TPKS
UU TPKS Disahkan DPR RI, Pengertian dan Poin Penting UU TPKS /pixabay.com/ Alexas_Fotos

ARAHKATA - Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan beberapa pertimbangan.

Selasa,12 April 2022 kemarin melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga.

Presiden resmi menyetujui RUU TPKS  menjadi peraturan baru bagi bebagai kasus pelecehan sampai kekerasan seksual.

Baca Juga: Menhub Pastikan Tidak Lakukan Penyekatan Mudik 2022

Sebelum disahkannya peraturan ini, banyak perdebatan di masyarakat. Mulai dari organisasi, komunitas sampai kelompok tertentu yang setuju maupun tidak setuju terkait beberapa isi draft dalam RUU tersebut.

Salah satunya Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang memberikan pernyataannya dalam akun instagram @ailaindonesia saat ini, menolak ketika telah disahkannya RUU TPKS ini.

Dijelaskan mengapa AILA menonak RUU TPKS, karena muatan sexual consent dan tak mengatur sexual evil.

Baca Juga: Polisi Belum Bisa Memastikan Korban Jiwa Mall Tunjungan Plaza 5

Berikut beberapa point lebih jelasnya yang disampaikan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia ke publik, terkait penolakan terhadap RUU TPKS:

1. Apabila RUU TPKS disahkan menjadi Undang - Undang, maka hal tersebut akan sangat berbahaya.

Karena, masyarakat Indonesia diarahkan untuk menerima paradigma sexual consent yang secara implisit ada dalam RUU ini, yang justru bertentangan dengan UU 1945.

Baca Juga: Catat! Ini Link, Syarat dan Tata Cara Daftar Rekrutmen Bersama BUMN 2022

2. Paradigma sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama & sosial.

Sexual consent menganggap hubungan sexual yang amoral sekalipun, sepanjang dilakukan dengan persetujuan, merupakan domain pribadi sehingga negara tidak boleh mengintervensi dengan mengatur hubungan seksual semacam itu.

Paradigma tersebut sangat kontradiktif dengan pancasila sebagai landasan Bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara.

Baca Juga: Densus 88 Tangkap 77 Anak Telah Dicuci Otak Faham Radikal

3. Sejumlah frasa bermasalah dan mengindikasikan relativisme moral ditemukan dalam draft RUU TPKS, seperti frasa "keinginan seksual"  dan frasa "berdasarkan seksualitas dan latar kesusilaannya" begitu pula jenis - jenis tindak pidana kekerasan seksual pada pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) RUU TPKS, juga mengandung paradigma sexual consent, dan menggunakan istilah serba substansi yang rancu, antara lain: i) pemaksaan kontrasepsi; ii) pemaksaan sterilisasi; iii) perbudakan seksual; iv) perbuatan yang melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; v) kekerasan seksual berbasis elektronik; vi) pemaksaan pelacuran.

Baca Juga: Polisi: Putra Siregar dan Rico Valentino Jadi Tersangka Pengeroyokan

4. Implikasi atas ketentuan - ketentuan demikian, bukan hanya menimbulkan multitafsir, tetapi juga menicu ketidakpastian & ketidakadilan.

Sebab pada akhirnya, aktivitas seksual yang dapat dipidanakan menurut RUU TPKS. Hanya yang berbasis paksaan, kekerasan dan / atau bertentangan dengan kehendak seorang.

Padahal realitas empiris menunjukkan, Indonesia bukan saja menghadapi darurat kekerasan tapi kekerasan darurat kebebasan seksual dan penyimpangan seksual yang dampaknya sangat mengkhawatirkan.

Baca Juga: Polda Metro Jaya Tangkap 6 Tersangka Pengeroyok Ade Armando, Ini Nama-namanya

Bahkan muatan pasal II huruf (c) sangat ambigu dan berpotensi disalahgunakan untuk mengafirmasi serta melindungi perilaku seks bebas & penyimpangan seksual.

Apalagi di Indonesia belum ada aturan/ perundangan yang komprehensif dalam melarang seks bebas dan penyimpangan seksual.

5. RUU TPKS menegasikan fenomena perilaku seksual yang juga berbahaya seperti LGBT, seks anal hingga perzinahan yang menurut pandangan agama-agama di Indonesia, dinyatakan sebagai 'kejahatan yang mengandung dosa' atau 'sexual evil', dengan alasan telah dan akan diatur dengan Undang - Undang lain.

Akan tetapi, pada saat yang sama menganfirmasi tindak pidana lainnya yang diatur dalam Undang - Undang, seperti dalam lingkup rumah tangga berdasarkan UU No.23 tahun 2004.

Baca Juga: Sering Pinjam Uang, Tukang Es Kelapa di Bogor Bacok Temannya

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesungguhnya dapat amanah dari Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.46/ PUU -XIV/2016 tentang pengujian pasal 284, 285 dan 292 KUHP, untuk melahirkan Undang - Undang yang dapat mengatur tindak pidana kesusilaan secara komprehensif.

Oleh karena itu sepatutnya RUU TPKS mengatur kekosongan hukum tersebut.***

Editor: Agnes Aflianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah