Hendardi: 18 Tahun Munir Dibunuh, Komnas HAM Pilih Jalur Aman

- 7 September 2022, 18:13 WIB
Hendardi Setara Institute
Hendardi Setara Institute /Istimewa

ARAHKATA - Pada 7 September 2004, Munir Said Thalib dibunuh dengan menggunakan racun arsenic secara terencana.

Pengadilan telah memutus dua orang aktor lapangan dan membebaskan Muchdi Purwoprandjono, yang saat itu menjabat salah satu Deputi Badan Intelijen Negara (BIN).

Pada 7 September 2022, kasus Munir akan memasuki kadaluarsa karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa terjadi karena konstruksi yang dibangun dalam penyelesaian kasus Munir adalah pembunuhan biasa.

Baca Juga: Porestabes Medan Obrak-abrik Kampung Narkoba, Dua Tersangka Ditangkap

Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan jika merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta Munir (TPF) yang banyak beredar, kasus Munir bukanlah pembunuhan biasa tetapi pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan karena Munir di bunuh di luar atau tanpa proses peradilan (extra judicial killing).

Namun, Komnas HAM lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus Munir sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM.

Bahkan Komnas HAM baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluarsa.

Baca Juga: Breaking News! Bupati Mimika Eltinus Omaleng Ditangkap KPK

“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kadaluarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember," ujar Hendardi dalam keterangan persnya, Rabu, 7 September 2022.

"Alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM periode ini justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, sejak Tim Pencari Fakta Munir (TPF) menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39/1999 dan UU 26/2000, " lanjut Hendardi.

Sementara, Jokowi sejak 2014 terpilih menjadi Presiden RI, tidak pernah tuntas memahami duduk perkara kasus Munir.

Baca Juga: Bharada E hingga Kuat Ma'ruf Jalani Pemeriksaan Lie Detector, Ini Hasilnya!

Ketika didesak menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir, Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan tidak mengetahui laporan tersebut.

Sebagai seorang presiden, semestinya Jokowi memahami bahwa tugas penuntasan pelanggaran HAM itu melekat pada dirinya, sekalipun peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya.

TPF telah menyerahkan laporan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Presiden, yang artinya tugas lanjutan melekat pada presiden berikutnya.

Baca Juga: Tim Densus 88 Tangkap Seorang Terduga Teroris di Lumajang


Bahkan karena Jokowi terus mengelak, SBY pun berinisiatif mengirimkan copy laporan tersebut pada 26 Oktober 2016 kepada Jokowi.

Tetapi nyatanya, hingga periode kedua Jokowi tersisa 2 tahun lagi, Jokowi tetap tidak tuntas memahami kewajibannya sebagai Presiden sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum hak asasi manusia.

Keppres yang diklaim ditandatangani saat 17 Agustus 2022 dan hingga kini tidak bisa diakses publik, adalah cara pragmatis memberikan pemulihan karitatif bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.

Baca Juga: Kasus Ferdy Sambo Tiga Kapolda Diduga Terlibat, Kadiv Humas Polri: Timsus Akan Dalami


"Keengganan Jokowi dalam menuntaskan kasus Munir dan pilihan Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial adalah gambaran terang benderang tentang arah politik penegakan HAM di Indonesia yang semakin suram menuju pelembagaan impunitas secara permanen dan tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan," tutur Hendardi.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Sumber: Setara Institute


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x