Ombudsman Umumkan Laporan Masyarakat Terkait Izin Kawasan Hutan

- 13 Maret 2021, 01:43 WIB
Hery Susanto, Anggota Ombudsman RI
Hery Susanto, Anggota Ombudsman RI /Dok. Ombudsman RI

ARAHKATA – Ombudsman RI mengumumkan dalam kurun waktu terakhir banyak mendapatkan laporan pengaduan masyarakat terkait kasus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) badan usaha.

Adapun aduan masyarakat meliputi tumpang tindih kawasan hutan dengan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit, peternakan, konflik tenurial (lahan) antara masyarakat dengan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Kemudian juga, soal permohonan pemasangan jaringan listrik dalam kawasan hutan oleh masyarakat serta berbagai macam permasalahan lainnya.

Baca Juga: Makanan Ini Dapat Meningkatkan Gairah Seks untuk Pria!

Hal demikian diungkap dalam diskusi secara virtual Ombudsman RI merespons Regulasi Sektor Kehutanan Pasca Berlakunya Undang Undang Cipta kerja (Ciptaker).

Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari berlakukanya UU Cipta Kerja terutama di sektor kehutanan.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

“Kami concern untuk melakukan kajian terhadap regulasi yang rawan praktik maladministrasi dan korupsi. Kami pun siap menerima dan menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat,” ungkap Hery Susanto, Anggota Ombudsman RI, dalam keterangan tertulis, Sabtu 13 Maret 2021.

Baca Juga: Tim Patriot Polres Bekasi Kota Lakukan Cek TKP Korban Begal

Sementara, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. DR San Afri Awang yang hadir sebagai narasumber mengatakan bahwa keberadaan UU Citpa Kerja di sektor kehutanan untuk memperkuat keberadaan UU Kehutanan yang sebelumnya sudah ada.

Menurutnya, prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan, luas kawasan hutan harus dipertahankan, seperti tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pemanfaatan hutan, perhutanan sosial, pembinaan dan pengelolaan hasil hutan, pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) serta pemanfaatan dan perlindungan hutan.

San Afri mengingatkan hal-hal yang rawan terjadinya maladministrasi.

Misalnya dalam Pasal 16 ayat (3) PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan disebutkan bahwa dalam proses penyelenggaran pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara transparan dan dukungan informasi yang jelas.

Baca Juga: Aplikasi Diblokir Jatah Kuota Kemdikbud, Netizen Ramai

“Pasal 16 ayat (4) PP tersebut prioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis. Dalam konteks ini sering terjadi ketidakpastian hukum hutan adat, lalai, sewenang-wenang, dan ketidak pastian hukum pengadaan  lahan  untuk  food  estate  (tumpang  tindih perizinan),” kata San Afri.

Pihaknya mencatat, area yang rawan terjadinya praktik maladministrasi dan korupsi seperti perizinan di sektor kehutanan produksi dan penggunaan kawasan, pelepasan kawasan hutan secara parsial, dan pelepasan kawasan keterlanjuran melalui sanksi dan mekanisme penarikan Penarikan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Untuk mencegah praktik korupsi di sektor kehutanan maka harus diperjelas mekanisme dan pengawasan terhadap perijinan berusaha, pelepasan kawasan dan mekanisme penarikan PNBP,” katanya.

San Safri Awang mengharapkan agar Ombudsman RI memfokuskan kajian pada mekanisme pembayaran denda.

Baca Juga: Hore BST Tahap Kedua DKI Jakarta Cair Hari Ini!

Misalnya, beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah diputuskan pengadilan, pembayaran sanksi denda dari perusahaan tertentu dan pemulihan kawasan hutan.

“Jika dendanya besar, perusahaan tidak mampu membayar langsung, maka perusahaan harus bersedia membayar dengan mencicil selama 20-25 tahun (denda di atas 100 milyar rupiah). Tetapi dalam PP No 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Jasa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) diatur pengajuan keringan pembayaran hanya 12 bulan saja,” ucapnya.

“Di kasus yang lain denda PNBP terhadap kebun sawit dalam kawasan hutan, belum ada aturannya. Maka seharusnya dapat di atur dalam peraturan menteri dari turunan PP 23 dan PP 24,” pungkasnya.***

Editor: Agnes Aflianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x