DPR Tunda Pembahasan RUU Penyiaran Dinilai Belenggu Kebebasan Pers

- 29 Mei 2024, 15:42 WIB
Sejumlah jurnalis berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (28/5/2024). Aksi yang dilakukan sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi pers itu untuk menyatakan sikap menolak pembahasan revisi UU Penyiaran karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik.
Sejumlah jurnalis berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (28/5/2024). Aksi yang dilakukan sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi pers itu untuk menyatakan sikap menolak pembahasan revisi UU Penyiaran karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik. /Didik Suhartono/ANTARA

ARAHKATA - Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa lembaganya menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Supratman yang ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, menyampaikan alasan penundaan pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran tersebut karena lembaganya tidak ingin kemerdekaan pers terganggu.

Menurutnya, pers adalah lokomotif dan salah satu pilar demokrasi yang harus dipertahankan. "Itu harus dipertahankan karena itu buat demokrasi," kata Supratman.
 
 
Ia menjelaskan bahwa Badan Legislasi DPR RI baru satu kali mendengar paparan dari pihak pengusul RUU Penyiaran tersebut, yakni Komisi I DPR RI. Namun, ia mengaku telah mendapatkan perintah dari fraksi partai politiknya untuk sementara tidak membahas revisi undang-undang tersebut.
 
"Terutama yang berkaitan dengan dua hal. Satu, posisi dewan pers, yang kedua, menyangkut jurnalistik investigasi," katanya.

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut dinilai oleh sejumlah pihak terdapat pasal-pasal yang kontroversial. Salah satu poin kontroversi adalah adanya pelarangan penayangan jurnalistik investigasi pada Pasal 50B Ayat 2 huruf c.
 
 
Selain itu, ada juga poin kontroversial pada Pasal 50B Ayat 2 huruf k tentang pelarangan penayangan yang mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Poin tersebut dinilai kontroversial karena mengandung makna yang multitafsir.
 
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selesai dibahas dan dapat disetujui menjadi undang-undang pada tahun 2024 ini.
 
Kemudian Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menepis tudingan bahwa revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers.
 

Mantan jurnalis ini menegaskan bahwa Komisi I DPR menyadari keberlangsungan media yang sehat adalah penting.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah