Mantan Wakil Presiden Codex: Regulasi Keamanan Pangan Diskriminatif Mengabaikan Prinsip Regulatory

16 September 2022, 09:19 WIB
Ilustrasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). /pixabay/congerdesign/.*/pixabay/congerdesign

ARAHKATA - Mantan Vice-Chair Codex Alimentarius Commission (CAC), Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, yang juga peneliti senior Seafast Center LPPM IPB mengatakan regulasi keamanan pangan diskriminatif.

Purwiyanto menilai hanya diberlakukan pada satu produk tertentu saja bukan prinsip regulatory yang baik.

Menurut Purwiyanto, hal itu bisa menyebabkan tujuan dari kebijakan yang mau dibuat itu tidak tercapai.

Baca Juga: Penjelasan IPB Soal Klasifikasi Karsinogenik BPA pada Manusia
 
Hal itu disampaikannya menanggapi wacana revisi kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mau mewajibkan pelabelan “berpotensi mengandung BPA” hanya pada produk kemasan galon guna ulang saja.

Baru-baru ini BPOM mengadakan sarasehan yang disebut  sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui regulasi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) di Medan, Sumatera Utara.

BPOM mengatakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kemasan AMDK galon guna ulang, ditemukan migrasi BPA yang sudah di atas batas ambang yang membahayakan kesehatan.

Baca Juga: Heboh! Pria di Cirebon Diduga Sebagai Hacker Bjorka

Menurut Purwiyatno, penelitian yang dilakukan hanya kepada produknya saja belum cukup untuk menyimpulkan bahwa itu membahayakan bagi kesehatan.

“Kalau kita bicara mengenai resiko keamanan pangan maka landasannya adalah bukannya ada atau tidak ada bahaya dalam hal ini BPA dalam produknya, tetapi seberapa besar paparan atau exposure BPA tersebut terhadap masyarakat,” ujarnya.
 
Dia mengutarakan bahwa kebijakan terkait pelabelan BPA ini termasuk regulatory science yang harus mempertimbangkan berbagai faktor. Di antaranya faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain, termasuk aspek politik juga bisa masuk di sana.

Baca Juga: Kementerian ESDM Tegaskan Tidak Ada Penghapusan Daya Listrik 450 VA

“Makanya, ketika kita basisnya paparan, maka semua potensi paparan itu harus dihitung, harus dicek. Jadi misalnya masyarakat kita itu berpotensi terpapar BPA, itu harus diteliti juga dari mana saja BPA itu berasal. Karena kurang bermakna juga kalau yang ditekankan itu hanya potensi paparannya saja,” tukasnya.
 
Karena, menurutnya, ujung dari me-manage resiko itu adalah mengurangi resiko terpapar terhadap bahaya yang didentifikasi tersebut.

“Jadi, penelitiannya harus lengkap agar efektif dan efisien. Karena, kalau hanya parsial, bisa jadi tujuan dari kebijakan itu tidak tercapai,” ungkapnya.

Baca Juga: KPU Terus Perkuat Keamanan Siber Cegah Kebocoran Data

Jadi, tegasnya, yang diteliti itu bukan jumlah BPA pada produk tetapi jumlah BPA yang masuk ke dalam tubuh.  

“Dan itu juga, yang diuji seharusnya tidak hanya BPA yang ada pada produk AMDK saja, tapi semua kemasan pangan lain yang juga ber-BPA,” ucapnya.
 
Dia mengatakan bahwa melakukan kajian resiko kepada masyarakat itu sesuai dengan amanat PP No.86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.

Baca Juga: Gudang JNE Cimanggis Kebakaran, Ratusan Produk EIGER Ludes Terbakar

“Di sana secara jelas dikatakan bahwa semua kebijakan tentang keamanan pangan itu harus berdasarkan pada kajian resiko. Dan untuk kasus BPA ini, apakah sudah ada dilakukan kajian resikonya. Kalau itu sudah ada, hasilnya juga perlu disampaikan ke masyarakat secara transparan. Kalau itu sudah ada, menurut saya tidak mungkin terjadi banyak perdebatan seperti yang ada saat ini,” katanya.
 
Sebelumnya, Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology  Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan kemasan galon guna ulang secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan kemasan yang digunakan berulang kali. 

Karenanya, lanjut Chalid, untuk mengatakan bahwa galon ini mengkhawatirkan pun harus jelas disclaimer-nya seperti apa.

Baca Juga: Merasa Diabaikan, Pedagang Tuntut Revitalisasi Segera Pasar Blok A

“Jangan kalimat itu kemudian digeneralisir. Harus ada rinciannya, nggak bisa sembarangan. Nah, statement yang seperti itu nggak bisa digunakan untuk publik, kecuali kalau sudah ada data yang jelas,” ucapnya.
 
Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD, mengungkapkan bahwa BPA yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh.

Karena, menurutnya, BPA itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.

Baca Juga: Kuasa Hukum Gubernur Enembe Sebut KPK Bujuk Oknum Pengusaha Akui Dana 1M Hadiah Proyek
 
“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita. Misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA. Tapi, ketika dikonsumsi, yang paling berperan itu adalah hati. Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” katanya.
 
Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya. Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5-6 jam akan cuma tersisa 5.

“Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” tuturnya.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Perentas Bjorka Telah Teridentifikasi Pihak BIN dan Polri
 
Dia juga mempersoalkan hasil penelitian BPOM terkait BPA dalam air minum dalam kemasan (AMDK).

Dia mengatakan data dari BPOM itu adalah konsentrasi dari uji yang di luar tubuh.

“Nah, kita butuh data sebenarnya yang masuk ke dalam tubuh. Kalau misalnya katanya kadar BPA itu sudah berada di atas 0,6 bpj yang masuk ke dalam air minum, itu kalau dikonsumsi itu sisanya berapa di dalam tubuh, itu yang jadi penting. Jangan-jangan sebenarnya nggak masalah, karena pas masuk langsung keluar lagi,” ucapnya. 

Baca Juga: 26.000 Siswa Bawa Senjata Api di Sekolah AS dalam 10 Tahun Terakhir
 
Kalau sebenarnya konsentrasi BPA sebesar temuan BPOM itu tidak bermasalah di dalam tubuh, menurutnya, BPOM tidak perlu membuat regulasi baru terkait pelabelan BPA “berpotensi mengandung” BPA dalam kemasan galon berbahan Polikarbonat itu.

"Kalau nggak masalah di dalam tubuh kenapa diregulasi. Yang jadi masalah itu kan ketika masuk di dalam tubuh, dan bukan yang ada di dalam airnya,” tukasnya.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Tags

Terkini

Terpopuler