Peringatan Bencana Juga Bisa Dilakukan Pakai Kentongan, Ini Penjelasannya

- 6 Maret 2021, 08:14 WIB
WAKIL Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum (ketiga kiri) saat meluncurkan program seribu kentongan, yang digagas oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radion Republik Indonesia (RRI), di Desa Tenjolaya, Kabupaten Subang, Senin 11 November 2019,*/DOK. HUMAS PEMPROV JABAR
WAKIL Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum (ketiga kiri) saat meluncurkan program seribu kentongan, yang digagas oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radion Republik Indonesia (RRI), di Desa Tenjolaya, Kabupaten Subang, Senin 11 November 2019,*/DOK. HUMAS PEMPROV JABAR /

ARAHKATA - Di masa lalu, kentongan di pos ronda selalu bunyi saat bencana alam. Hal itu menjadi salah satu kearifan lokal atau local wisdom yang harus dipertahankan.

Kearifan lokal disebut menjadi salah satu bagian dari sistem informasi peringatan dini potensi bencana yang harus tetap dirawat dan ditingkatkan di tiap-tiap daerah. Jadi, tindakan local wisdom tersebut yang amsn menyelamatkan warga.

Upaya mitigasi bencana dan implementasi dari sistem peringatan dini tidak bisa hanya dengan mengandalkan infrastruktur dan sarana prasarana yang dibangun dengan teknologi modern. Perlu adanya pemahaman masyarakat, kearifan yang kemudian menjadi suatu budaya.

Baca Juga: Di Tengah Pandemi Covid-19, Anime Festival Asia Tetap Hadir di Indonesia

Hadir melalui virtual sebagai pembicara dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari ketiga, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dicanangkan dengan baik.

“Perlu perkuatan tentang local wisdom,” jelas Dwikorita dalam pertemuan virtual, Jumat 5 Februari 2021.

Tak hanya kentongan, ada banyak local wisdom yang dipakai masyarakat. Dwikorita mencontohkan masyarakat Simeulue di Aceh yang sudah memiliki kearifan lokal mengenai ‘smong’ atau tsunami dalam bahasa daerah setempat.

Cerita dan informasi yang disampaikan secara turun-temurun melalui ’tutur’ oleh masyarakat Simeulue itu kemudian menjadi sistem peringatan dini yang baik bagi masyarakatnya, sehingga banyak yang selamat dari peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam.

Baca Juga: DPRD Bekasi Kota Pertanyakan Pembatalan Pencairan Dana Kematian Pasien Covid 19

Selanjutnya, selain lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat, sistem informasi peringatan dini menggunakan kearifan lokal tersebut juga diyakini dapat mendorong masyarakat menjadi mandiri.

“Yang ada di Aceh dan beberapa wilayah di Indonesia. Ketika (masyarakat) merasakan goyangan gempabumi saat berada di pantai sampai 10 - 20 hitungan, (mereka) terus saja lari ke tempat yang lebih tinggi. Tidak perlu lagi menunggu sirine dari BPBD,” terang Dwikorita.

Menyilam pada peristiwa Gempabumi dan Tsunami Palu 2018 yang menelan korban sebanyak 2.045 jiwa, bahwa kemunculan gelombang tsunami hanya berselang kurang lebih dua menit setelah adanya guncangan gempa.

Pada saat itu menurut Dwikorita, sistem peringatan dini yang dimiliki BMKG baru mengeluarkan tanda bahaya pada menit keempat.

Baca Juga: KLB Kubu Kader Pecatan Demokrat Yakin Moeldoko Terima Pinangan

Menurutnya, korban jiwa seharusnya dapat ditekan apabila masyarakatnya memiliki pengetahuan dan pemahaman dari kearifan lokal yang kemudian menjadi budaya dan diimplementasikan kepada upaya mitigasi bencana.

Melihat dari fenomena tersebut, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa sistem peringatan dini berbasis tekonologi modern belum cukup membantu masyarakat dalam mitigasi bencana. Perlu adanya aspek dari sisi kearifan lokal dan juga infrastruktur evakuasi yang memadai.

“Sehingga local wisdom itu yang harus dicanangkan,” tandas Dwikorita.***

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah