Menurut Hakeng peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen dirasa sangat memberatkan.
Padahal Aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.
Baca Juga: Menlu: 55 WNI Korban Penyekapan di Kamboja Berhasil Dibebaskan
Dalam aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.
Akibat dari peraturan itu, patut saya duga telah menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani.
Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah, sambung Hakeng.
Baca Juga: Satu Ton Beras Bansos Presiden Dikubur di Depok, Ini Penjelasan JNE
Hal lain yang menjadi perhatian Hakeng pula adalah rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil.
Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika diterapkan.