Ini Fakta Sesungguhnya Soal BPA dan Ketidaksuburan

- 9 Februari 2022, 21:01 WIB
Ilustrasi sperma (lambang kesuburan)
Ilustrasi sperma (lambang kesuburan) /Foto by pixabay/Arahkata

ARAHKATA - Keresahan mungkin saja dirasakan oleh masyarakat awam, terkait dengan pernyataan air minum galon guna ulang yang dikaitkan ada korelasi terjadi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali.

Pernyataan yang dikutip Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dari hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) 202, tentu saja membuat berbagai pihak angkat bicara.
 
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menegaskan bahwa air kemasan galon guna ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil. Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang yang dihembuskan pihak-pihak tertentu adalah hoax. “(air kemasan galon guna ulang) Aman. Itu (isu bahaya air kemasan galon guna ulang) hoax,” tandasnya.

Baca Juga: Kaesang Ungkap Skincare Jokowi, Marshel Widianto: Serius?
 
Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Dr (HC) dr. Hasto Wardoyo, SpOG. Dia mengatakan diperlukan penelitian antar center untuk benar-benar membuktikan bahwa air kemasan galon guna ulang bisa menyebabkan infertilitas atau gangguan kesuburan pada sistem reproduksi pria dan wanita. Menurutnya, kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, perlu berhati-hati untuk menyampaikannya ke publik.
 
“Itu masih butuh riset multi center saya kira agar menjadi bukti yang kuat,” ucapnya.
 
Dia mengatakan informasi itu perlu melihat dari senter pendidikan di UGM, UNAIR, UI, ditambah di Singapore, USA, dan di negara-negara lain. “Setelah itu baru hasilnya dipadukan dan dilihat seperti apa kesimpulannya. Kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, itu harus hati-hati,” ujarnya.

Baca Juga: Lagunya Diposting Jungkook BTS, Begini Reaksi Melissa Polinar
 
Fakta di masyarakat juga tidak berkorelasi dengan narasi yang disampaikan BPOM, dimana air galon guna ulang menyebabkan infertilitas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disusun dari Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia bahkan mengalami peningkatan cukup siginifikan dalam 10 tahun terakhir. Ada penambahan jumlah penduduk sebanyak 32,56 juta jiwa atau rata-rata sebanyak 3,26 juta setiap tahun. Tingginya angka kelahiran ini menempatkan jumlah penduduk Indonesia berada pada urutan keempat terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
 
Jika melihat dari sejarah nya, air minum galon guna ulang itu sudah mulai diedarkan pada tahun 1984. Artinya, jika benar air galon guna ulang ini bisa menyebabkan infertilitas, seharusnya tidak terjadi penambahan jumlah penduduk  di Indonesia.
 
Pada masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung sampai saat ini, angka kelahiran justru semakin meningkat. Hal ini juga menjadi sorotan BKKBN. Menurut data BKKBN, angka kelahiran nasional pada Januari 2021 meningkat sekitar tiga ratus ribu. Menurut Hasto, penyebabnya adalah karena terganggunya layanan penyediaan kontrasepsi dan konsultasi Keluarga Berencana selama wabah Covid-19. Jadi jelas, penggunaan kontrasepsilah yang bisa mengurangi jumlah kelahiran di Indonesia dan bukan karena mengkonsumsi air minum galon guna ulang.
 
Berbagai testimoni dari masyarakat juga membuktikan bahwa tidak ada korelasinya antara air minum galon guna ulang dengan infertilitas. Ibu Memi di Depok misalnya, mengaku telah menggunakan galon guna ulang ini di rumah sejak awal nikah. “Tapi, saya tidak pernah ada masalah untuk hamil. Malah saya sudah punya 6 anak,” katanya.

Baca Juga: Beckham Beberkan Ambisinya Bersama Timnas Indonesia di Piala AFF U-23
 
Sementara, Pemerintah Korea Selatan justru sedang berjuang keras menghadapi penyusutan populasinya. Namun, pertumbuhan angka kelahiran yang rendah di Korsel ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan air minum galon guna ulang yang mereka konsumsi. Hal itu dilakukan karena mereka harus membangun kembali negaranya setelah Perang Korea 1950-1953.  Masyarakat memupuk keyakinan bahwa pendidikan formal sangat penting untuk peluang kerja dan kebahagiaan anak-anak mereka di masa depan.

"Semua orang tua ingin memberikan pendidikan elit kepada anak-anak mereka. Itu berarti mereka harus menghabiskan 50% pendapatan mereka untuk pendidikan. Itu adalah beban besar bagi keluarga, dan berarti bahwa sebagian besar pasangan hanya mampu membiayai satu anak," kata Ohe Hye-gyeong, peneliti di International Christian University, Tokyo.***

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x