Ini Tuntutan Pegiat Lingkungan Soal Informasi Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik Produsen

- 26 Oktober 2021, 06:59 WIB
Muharram Atha Rasyadi, juru bicara Greenpeace Indonesia
Muharram Atha Rasyadi, juru bicara Greenpeace Indonesia /Tangkapan layar zoom webinar/aeahkata/Arahkata

ARAHKATA - Greenpeace Indonesia menyayangkan tidak adanya keterbukaan informasi terkait roadmap yang telah dikirim oleh 30 produsen, walaupun Greenpeace mengapresiasi keberadaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75/2019, terkait hal tersebut.

“Harapannya, roadmap ini bisa diakses secara mudah oleh publik, sehingga publik bisa menjadikan tanggung jawab produsen atas kemasan dan sampahnya mereka sebagai salah satu pertimbangan ketika membeli,” ujar Muharram Atha Rasyadi, juru bicara Greenpeace Indonesia pada webinar media “Efektivitas Permen KLHK 75/2019 Dalam Mengurangi Sampah Plastik Sekali Pakai”, saat webinar dengan media, Jumat (22/10).

Keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia juga dipertanyakan pegiat dan pengamat regulasi persampahan yang juga Ketua Komisi Penegakan Regulasi Satgas Sampah Nawacita Indonesia, Asrul Hoesein.

Baca Juga: Dimas Ahmad Lama Tak Terlihat, Raffi Ahmad: Karir Merosot?

Menurutnya, Peraturan Menteri LHK No.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang pemberlakuannya pada 2030 mendatang merupakan waktu yang cukup lama. Produsen-produsen tertentu juga masih belum dilarang untuk memproduksi kemasan-kemasan baru plastik sekali pakai seperti galon sekali pakai.

Menurut Asrul, pelaksanaan EPR (extended producer responsibilty) ini harusnya melalui peraturan pemerintah, yang di dalamnya diatur semua stakeholder, bukan hanya KLHK saja yang membuat peta jalan. Ini merupakan mandat pasal 16 UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Sebenarnya dibuat dasarnya dulu, baru peta jalannya di bawah. Itu persoalannya, makanya apa yang terjadi seperti sekarang, simpang siur,  galon isi ulang diserang oleh galon sekali pakai. Plastik sekali pakai ini di satu sisi dilarang, tapi satu sisi seakan-akan disupport. Makanya kenapa terjadi perang antara galon isi ulang dengan galon sekali pakai yang akhir-akhir ini muncul, itu sudah perang industri di sini. Kenapa terjadi, karena sistem EPR ini nggak ada,” ujar Asrul.

Menurutnya, KLHK seharusnya tidak perlu menunggu perusahaan mau berkomitmen atau tidak dalam melakukan tanggung jawabnya terhadap sampah-sampah plastik yang mereka hasilkan mengingat itu sudah kewajiban mereka untuk mengelolanya dengan baik. “Jadi  tidak boleh takut, karena EPR  itu bukan duit perusahaan tapi duitnya konsumen. Sangat jelas bahwa mekanisme EPR itu dimasukkan dalam mekanisme harga produk,” ucapnya.

Baca Juga: Giselle Aespa Rilis Permintaan Maaf Usai Dinilai Rasis

Halaman:

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x