Bedah Buku Novel 98 dan Pagi yang Patah Karya Gen JW

- 9 Maret 2021, 21:08 WIB
Flayer Membedah Kualitas Kalimat dan Paragraf dalam Novel
Flayer Membedah Kualitas Kalimat dan Paragraf dalam Novel /Dok. Komunitas Jenius Writing (JW)

 

ARAHKATA - Bedah buku merupakan salah satu program Komunitas Jenius Writing (JW) yang bertujuan mengupas atau meriview buku hasil karya gen JW, sebutan member Jenius Writing, untuk memberikan pengetahuan dan wawasan tentang buku yang dibedah, kelebihan dan kekurangan serta untuk memberikan motivasi bagi gen JW yang lain untuk membuat karya tulis berupa novel yang anti mainstream.

Bedah buku Novel kali ini adalah novel yang berjudul 98 karya Esti Mulia dan Pagi yang Patah karya Firya Aulia, dilansir arahkata.com pada kanal what's up grup Jenius Writing. 

Novel 98 karya Esti Mulia, seorang Ibu rumah tangga dengan dua orang anak, bergenre romance, berkisah tentang hubungan LDR antara mahasiswa dan tentara. Ditulis karena suatu keresahan yang terpendam sekian lama.

Baca Juga: Distribusi 63.500 Vaksin Covid-19 di Depok Masih Tertunda

Sebagai salah satu saksi sejarah reformasi, beliau terusik dengan pergolakan yang ada. Tidak adakah setitik cinta dalam situasi caos seperti ini?

Proses menulis novel 98 membutuhkan waktu hampir 1 tahun. Naskah berulang kali direvisi sampai penulis puas akan hasilnya. Sejalan dengan perjalanan beliau mengikuti kelas JW yang tak pernah bosan kena tampolan dari sang guru.

"Nulis novel itu harus rela revisi. Gak ada yang instan sobat. Masak mie instan saja perlu empat menit. Apalagi nulis novel." begitu kata Coach Lutfi, seorang pembina Komunitas Jenius Writing.

Novel Pagi yang Patah karya Mbak Firya Aulia, seorang guru Fisika di SMAN 13 Kerinci Jambi.

Novel Pagi yang Patah benar-benar dimulai dari pagi yang patah. Melalui novel ini Firya mengenalkan Kerinci, menggambarkan keindahan dataran tinggi paling eksotis di ujung Jambi.

Firya juga menyampaikan kritik dengan cara yang manis terhadap sistem pernikahan dalam satu kekerabatan (pubisan gento). Yang tidak sehat dari segi medis.

Baca Juga: Golkar Upayakan KH Syaichona Kholil Digelari Pahlawan Nasional Tahun 2021

"Nulis itu tinggal nulis. Ungkapkan suara hatimu lewat tulisan. Udah gitu aja. Nanti seiring berjalannya waktu, tulisanmu akan berkembang semakin manis," ucap Iis Solihat, seorang sahabat gen JW berkomentar.

Acara bedah buku itu berjalan dengan sangat interaktif. Gen JW antusias bertanya dan saling berkomentar, begitu pula sang novelis yang bersemangat memberikan penjelasan dan sharing pengalamannya dalam proses pembuatan novel tersebut.

"Pakai jurus LDA. Lekat Dekat Akrab. Kombinasi rasa yang saya alami dengan setting tempat yang benar-benar nyata. Konsep LDA ala JW," ujar Firya menanggapi pertanyaan saat acara bedah novel itu diadakan, Sabtu 6 Maret 2021.

Menurutnya, enjoy saja ketika menulis. Libatkan diri dalam karakter tokoh, mainkan rasa atau feeling, maka akan lahir novel perdana yang laris.

Kombinasi rasa yang dialami dengan setting tempat yang nyata membuat pagi yang patah mengalir.

Baca Juga: Jaguar Depok Tangkap Sekelompok Pelajar Hendak Tawuran

"Bab satu saya tulis dengan berurai air mata. Saat hati masih dililit pilu. Saat hidup kami dihantam badai cobaan. Mengalir, Kepolosan yang penuh luka. Dan saya percaya, yang ditulis sepenuh hati akan sampai pula ke hati. Saya menulis seolah-olah Melati itu adalah saya. Saya membawa jiwa saya ke dalam tulisan," demikian Firya menguraikan dengan sangat detil curhatannya.

Tentang Pagi yang patah, Firya kembali bercerita dengan penuh semangat.

"Melalui novel ini saya ingin memperkenalkan  Kerinci, menggambarkan keindahan dataran tinggi paling eksotis di ujung Jambi. Ada edelweis yang mekar di sisi tebing Gunung Kerinci saat hujan di bulan Agustus. Bunga rumpia ungu di sepanjang jalan cangking tepian sungai. Ambang jendela Umoh Laheik Panja tempat menatap kenangan. Telun berasap tempat pelangi menetap. Dan Bukit Tiung tempat guguran rinai merintik saat senja," katanya.

"Semua setting tempat ini nyata. Saya ingin orang yang membaca novel ini bisa membayangkan keindahan Kerinci. Melati dan Danta adalah ikatan tanpa rasa, tapi direstui oleh segenap semesta. Melati yang Naif, Leonie yang posesif. Danta penuh pesona tapi terluka," lanjutnya.

Camar Diliputi Kebaikan tapi Bukan Pilihan

Novel ini juga menyampaikan pesan kepada para wanita, bahwa hubungan baik dengan mertua, suatu saat akan membawa kita, menjadi wanita yang dimenangkan.

Berbeda dengan Novel 98 yang penuh gejolak, menurut Estik sang penulis novel tersebut, masing-masing orang berbeda. Untuk ibu rumah tangga seperti dirinya dengan tanggung jawab merawat ortu pasca stroke, sangat sulit mencari waktu yang tenang, damai, dan nyaman.

"Jadilah sembari nyapu ngebayangin apa yg mau ditulis. Ada waktu luang dikit, langsung sambar hp ketik-ketik. Efeknya, masakan sering gosong," ucapnya.

Perbedaan juga terjadi ketika mulai untuk eksekusi naskah, menurut pengakuannya Estik tidak membuat outline seperti yang dilakukan penulis lain. Baginya bila terlalu rapi di awal membuat karya majinasinya terasa mati.

"Sejujurnya saya bukan orang yang rapi. Saya cuma punya garis besar cerita yang mau dibuat. Gak bikin outline juga," demikian penjelasan Estik.

Baca Juga: FPD DPRD Jatim Pastikan Anggotanya Tak Hadir KLB Deliserdang

Estik terobsesi untuk membuat novel yg filmis. Bila dibaca akan terbawa imajinasi seperti dalam adegan nyata.

Untuk itu, di Novel 98 ada dialog yang dibuat sehidup mungkin. Para tentara itu, dengan kehidupannya yang keras, sering keluar kata-kata comberan dari mulutnya. Semua tertulis tanpa berusaha 'sok jaim'.

Kedua novel tersebut adalah novel yang menginspirasi pembaca, banyak hal yang dapat dipelajari dari keduanya.

Novel bukan tulisan yang menekankan keindahan kata-kata, seperti puisi. Akan tetapi lebih pada kejelasan, dialog, dan deskripsi adegan serta konflik.***

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah