Peraturan Pelabelan Kemasan Pangan Bisa Matikan Industri?

- 20 September 2021, 06:14 WIB
Ilustrasi kemasan botol air minum yang diwacanakan akan dilabeli terkait keamanan pangan.
Ilustrasi kemasan botol air minum yang diwacanakan akan dilabeli terkait keamanan pangan. /Gambar PNGDownload/tokped/Ilustrasi Arahkata

ARAHKATA - Hingar bingar isu keamanan pangan dalam produk kemasan akhirnya mengerucut kepada wacana akan dilakukannya pelabelan semua kemasan makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan mencantumkan keterangan lolos batas uji aman zat aditif tertentu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, para pelaku usaha menilai, apa yang diwacanakan oleh BPOM selaku regulator dalam izin edar produk Obat dan Makanan, bisa mematikan industri pangan yang ada di Indonesia.

“Kalau sampai dipaksakan BPOM harus diprotes. Kita nggak jualan jadinya, mati semua kita punya produk. Jelas akan mematikan industri. Belum lagi konsumen yang akan kesulitan untuk mencari makanan dan minuman karena nggak ada yang menjual produknya,” ujar Ketua Federasi Pengemasan Indonesia (IPF), Henky Wibawa, dalam sebuah kesempatan, Minggu 19 September 2021.

Langkah BPOM dalam mengambil kebijkan tersebut, Henky tidak mempermasalahkan. Namun, BPOM harus melihat bagaimana infrastruktur untuk mendukung kebijakan tersebut nantinya. “Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah BPOM nanti bisa menyediakan akreditasi di laboratorium yang cukup di Indonesia. Itu persoalannya,” kata Henky.  

Bukan tanpa alasan Henky berujar, yang mana dari data yang ada hampir seluruh kemasan pangan menggunakan pelapis plastik dari berbagai jenis. Bahkan penelitian di Amerika Serikat tahun 2016 menunjukkan 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan Polikarbonat (PC). Di Indonesia, belum ada pengujian serupa karena diperlukan kesiapan dalam uji laboratorium.

Baca Juga: Lawan Persipura, Pelatih Persija Tegaskan Ini ke Tim
 
Menurut Henky, banyak uji laboratorium yang tidak terlaksana karena laboratorium untuk melakukan tesnya itu dari BPOM sendiri masih terbatas dan tidak cukup banyak di Indonesia. “Saya dulu saja di perusahaan multinasional harus melakukan tes itu di luar negeri dengan biaya yang sangat mahal karena BPOM tidak bisa melakukannya,” tuturnya.
 
Ditambahkan, selama BPOM tidak menyelesaikan dulu masalah infrastruktur laboratoriumnya yang lengkap di Indonesia, peraturan pelabelan yang dibuat itu akan percuma karena tidak bisa dilaksanakan.  
 
“Kalau itu tidak dibereskan, ya peraturan itu tidak ada gunanya dan hanya menyusahkan orang saja. Orang mau mengeluarkan produk itu kan harus memakai kemasan.  Nah, sekarang harus pakai label lolos batas uji aman dan itu harus melalui tes. Nah, kalau tesnya saja tidak ada tempatnya, dimana dia harus lakukan tesnya dan bagaimana dia mau melabeli kemasannya?” tandas Henky. 

Baca Juga: Kiper Bali United Sempat Dilarikan ke RS, Begini Kabarnya

Penyumbang Terbesar
 
Sementara, Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menyampaikan industri makanan dan minuman (mamin) merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2021 yang mencapai 38,42% serta memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 6,66%.
 
Dia mengatakan capaian kumulatif sektor strategis ini dari sisi ekspor juga sangat baik, yaitu mencapai USD19,58 miliar atau naik 42,59% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya tercatat senilai USD 13,73 miliar. Menurutnya, kinerja gemilang industri mamin ini perlu dijaga selama masa pandemi Covid-19, karena peran pentingnya dalam memasok kebutuhan pangan masyarakat.
 
“Industri mamin selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak,” katanya.
 
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengatakan peraturan itu perlu dikomunikasikan terlebih dulu dengan para pelaku usahanya. 

Baca Juga: Hati-Hati! 5 Makanan Ini Bisa Pengaruhi Bau Badan
 
“Setiap peraturan itu kan harus dibahas secara bersama. Nggak sendiri. Mungkin ada masukan dari produsen. Karena ini kan mengakomodir tiga pihak, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen.  Kalau pemerintah itu membuat peraturan tapi tidak bisa diimplementasikan, kan konyol namanya,” ujarnya.
 
Makanya, kata Sularsi, peraturan yang baik itu adalah yang bisa diimplementasi dan  dikomunikasikan. “Jadi industri kan tetap harus hidup.  Regulasi itu kan bukan untuk mematikan perusahaan, tetapi bahwa regulasi itu justru memberikan kepastian hukum untuk pelaku usaha, memberikan keamanan untuk pelaku usaha dan konsumen,” ucapnya.
 
Soal pelabelan kemasan pangan, dia mengatakan selama ini hal itu sudah diatur bahwa kemasan itu harus menggunakan bahan-bahan yang sudah dipastikan aman untuk makanan atau minuman yang akan dikemas dengan wadah tersebut. Bahkan, kata Sularsi, untuk kemasan plastik seperti galon itu  sudah ada SNI atau standar plastik kemasannya di Kementerian Perindustrian.
 
“Karena hampir semua saat ini kan pangan itu dikemas dengan plastik. Pertanyaannya itu plastik-plastik yang mana yang wajib untuk dilabeli itu?” ucapnya, mempertanyakan wacana pelabelan kemasan pangan itu.

Baca Juga: Langgar Komitmen, Taliban Tutup Kementerian Urusan Perempuan

Halaman:

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x