Ini Kata Pakar Kimia ITB Soal Pelabelan BPA

- 4 November 2021, 07:04 WIB
Ilustrasi Air Kemasan Galon ber SNI yang beredar di tanah air.
Ilustrasi Air Kemasan Galon ber SNI yang beredar di tanah air. /Arahkata/

ARAHKATA - Pakar kimia ITB, Ahmad Zainal, meminta agar pelabelan kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) itu tidak hanya diberlakukan kepada satu produk pangan saja, tapi untuk semua produk pangan.

“BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturannya BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” ujarnya, saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Dia menuturkan keinginan BPOM untuk melakukan pelabelan itu berawal dari adanya kegelisahan di masyarakat yang diakibatkan dihembuskannya isu soal bahaya Bisfenol A (BPA) yang ada di dalam galon berbahan Policarbonat (PC). “Itu disampaikan BPOM saat saya dipanggil BPOM untuk menghadiri pertemuan di Gedung BPOM beberapa waktu lalu,” ungkapnya.

Baca Juga: Ria Ricis dan Teuku Ryan Menikah, Ini Kata Harris Vriza

Menurut Zainal, pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM sudah terbukti bahwa migrasi BPA dalam galon itu masih dalam batas aman atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM.

Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman. Bahkan, kata Zainal, Kemnekominfo juga sudah menyatakan bahwa isu BPA berbahaya galon itu hoaks.

“Jadi saya sampaikan waktu itu bahwa dari sisi scientific atau fakta ilmiah tidak perlu diberlakukan pelabelan itu. Cuma, BPOM waktu itu beranggapan bahwa psikologi masyarakat perlu diredam karena berita-berita hoaks yang sudah meresahkan di masyarakat. Kalau ilmuwan ya, kalau lihat faktanya begini kan nggak perlu,” katanya.

Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen. Karena, pelabelan itu jelas akan menambah cost. “Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti aka nada penolakan nanti dari pihak konsumen,” tukasnya.

Baca Juga: Polisi Tetapkan Tersangka Tabrakan Maut Dua Bus TransJakarta

Berbicara soal berbahaya, Zainal mengungkapkan bahwa semua bahan kimia yang ada dalam kemasan pangan itu berbahaya, termasuk plastik berbahan PET atau sekali pakai yang mengandung etilen glikol yang bisa merusak otak manusia jika dikonsumsi secara berlebihan.
“Termasuk garam dapur pun itu bahan dasarnya yang berasal dari Klor dan Natrium sangat berbahaya. Tapi setelah menjadi garam dapur, kan malah digunakan untuk masakan. Jadi, sama saja dengan etilen glikol dan BPA itu, kalau sudah membentuk polimer bisa digunakan untuk kemasan pangan,” ujarnya.

Seperti diketahui, hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon air minum dalam kemasan (AMDK) jenis polikarbonat (PC) atau galon guna ulang yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan pada tahun 2021 menunjukkan adanya migrasi Bisfenol A (BPA) dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu sebesar 0,6 bpj.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, juga mempertanyakan adanya wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan itu.

“Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” ujarnya.

Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu. Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.

Baca Juga: Jenderal Andika Perkasa Dinilai Layak sebagai Panglima TNI

“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.

Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen. “Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?” ucapnya lagi terkait wacana BPOM itu.

Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.***

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah