Padahal realitas empiris menunjukkan, Indonesia bukan saja menghadapi darurat kekerasan tapi kekerasan darurat kebebasan seksual dan penyimpangan seksual yang dampaknya sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga: Polda Metro Jaya Tangkap 6 Tersangka Pengeroyok Ade Armando, Ini Nama-namanya
Bahkan muatan pasal II huruf (c) sangat ambigu dan berpotensi disalahgunakan untuk mengafirmasi serta melindungi perilaku seks bebas & penyimpangan seksual.
Apalagi di Indonesia belum ada aturan/ perundangan yang komprehensif dalam melarang seks bebas dan penyimpangan seksual.
5. RUU TPKS menegasikan fenomena perilaku seksual yang juga berbahaya seperti LGBT, seks anal hingga perzinahan yang menurut pandangan agama-agama di Indonesia, dinyatakan sebagai 'kejahatan yang mengandung dosa' atau 'sexual evil', dengan alasan telah dan akan diatur dengan Undang - Undang lain.
Akan tetapi, pada saat yang sama menganfirmasi tindak pidana lainnya yang diatur dalam Undang - Undang, seperti dalam lingkup rumah tangga berdasarkan UU No.23 tahun 2004.
Baca Juga: Sering Pinjam Uang, Tukang Es Kelapa di Bogor Bacok Temannya
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesungguhnya dapat amanah dari Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.46/ PUU -XIV/2016 tentang pengujian pasal 284, 285 dan 292 KUHP, untuk melahirkan Undang - Undang yang dapat mengatur tindak pidana kesusilaan secara komprehensif.
Oleh karena itu sepatutnya RUU TPKS mengatur kekosongan hukum tersebut.***