Kuasa Hukum Sebut Akuisisi SBS oleh BMI Tak Langgar Aturan dan Terbukti Menguntungkan

- 17 Januari 2024, 15:51 WIB
Ainudin (kiri) dan Damba S Akmala (kanan), Tim penasihat hukum Tjahyono Imawan terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Akuisisi PT SBS oleh PT BA.
Ainudin (kiri) dan Damba S Akmala (kanan), Tim penasihat hukum Tjahyono Imawan terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Akuisisi PT SBS oleh PT BA. /Wijaya/ARAHKATA

ARAHKATA - Damba S Akmala selaku Kuasa Hukum Terdakwa Tjahyono Imawan menjelaskan bahwa langkah akuisisi terhadap PT SBS oleh PT BMI, telah mematuhi dan memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan serta peraturan internal perusahaan.

“Sebab tindakan klien kami pada dasarnya hanyalah merupakan tindakan bisnis atau corporate action yang jelas-jelas bukan merupakan perbuatan pidana,” kata Damba, Rabu, 17 Januari 2024.

Namun, menurut Damba, keterangan saksi paling penting adalah terkait audit yang rutin dilakukan oleh BPK setiap 2 tahun.

Baca Juga: KPK Dalami Informasi Perusahaan Jerman Suap Pejabat Indonesia

“BPK sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan audit, nyatanya selama ini tidak pernah ada temuan,” tegasnya.

Pernyataan tersebut disampaikan merespon keterangan Saksi Zulfikar Azhar, mantan Manajer Akuntansi manajemen PT Bukit Asam saat bersaksi dalam sidang perkara dugaan korupsi akuisisi saham PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Multi Investama (BMI) di Pengadilan Negeri Palembang, Senin, 15 Januari 2024.

Saksi Zulfikar Azhar, mantan Manajer Akuntansi manajemen PT Bukit Asam menegaskan, akuisisi PT SBS bukan saja menekan biaya operasional, namun juga meningkatkan pendapatan. Hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan PT BA. “PTBA itu secara laba rugi dari 2015 hingga 2022 itu naik,” kata Zulfikar.

Baca Juga: Bansos Khusus Mahasiswa Cair Rp6 Juta Sampai 23 Januari, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Menurutnya pada tahun 2015, saat mulai akuisisi PT SBS, perusahan mengantongi laba Rp2 triliun dengan produksi 19 juta ton batubara, tahun 2016 untung Rp 2 triliun dengan produksi 19.5 juta ton. Kemudian melonjak tinggi di tahun 2017 dengan pendapatan Rp 4.4 triliun dengan produksi 24 juta ton batubara.

Selanjutnya dia membeberkan di tahun 2018 perusahaan laba Rp 5 triliun dengan produksi 26 juta ton. Tahun 2019 laba 4 triliun dengan produksi 29 juta karena adanya penurunan harga batubara dunia, berikutnya di tahun 2020 pendapatan turun menjadi Rp 2 Triliun dengan produksi 24 juta karena covid.

Setahun kemudian pendapat kembali naik yaitu di tahun 2021 Rp 7 triliun dengan produksi 30 juta ton, sedangkan di tahun 2022 laba menjadi Rp 12 triliun dengan produksi 37 juta ton. “Untuk tahun 2023 sudah tercatat di atas Rp 3 triliun per September,” ujarnya.

Baca Juga: Antisipasi Krisis Kesehatan, PK3D Gandeng Puskesmas dan SKPD DKI Jakarta

Maka dia merasa heran, karena perusahaan dituding merugi akibat akuisisi ini. “Sampai detik ini tidak pernah dilakukan pemeriksaan laporan keuangan. Bagaimana bisa mengatakan PTBA mengalami kerugian kalau laporan keuangannya tidak diperiksa? Ini aneh dan janggal bagi kami,” tegasnya.

Dia juga menyampaikan setiap dua tahun laporan keuangan PTBA diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setelah PT BMI resmi mengakuisisi PT SBS pada 28 Januari 2014. “Namun, tidak ada temuan [terkait dengan akuisisi PT SBS oleh PT BMI],” ujarnya.

Zulfikar juga menjelaskan tentang kajian dari PT Bahana Securities mengenai perbandingan antara mendirikan perusahaan baru di bidang jasa pertambangan dengan mengakuisisi perusahaan yang sudah ada.

Baca Juga: PSI Revisi Laporan Biaya Kampanye Pemilu 2024, Ternyata Capai Rp 24 Miliar

Menurut kajian itu, ungkap Zulfikar, jika mengakuisisi perusahaan yang eksisting, maka diperlukan dana sekitar Rp72 miliar. Bila akan mendirikan perusahaan baru, maka butuh dana lebih dari Rp100 miliar. “Maka dari itu, kami pilih opsi akuisisi,” ungkapnya.

Sementara itu, Ainuddin yang juga penasihat hukum Tjahyono Imawan, mengutip ulang pernyataan saksi yang menyatakan pendapatan PT BA melejit hingga triliunan rupiah.

“Pendapatan PT BA jelas-jelas meningkat, sesuai keterangan saksi, bahkan tahun 2022 sempat menyentuh angka Rp12 triliun. Jelas nilai akuisisi tidak ada artinya dibading dengan capaian laba tersebut,” ujarnya.

Baca Juga: Sinergi Pemkab, PDAM Tirta Rangga dan Pabrik AQUA Subang Alirkan Air Bersih Bagi Masyarakat

Dia juga mengingatkan, nilai akuisisi PT SBS ini masih jauh di bawah estimasi sesuai kajian dari PT Bahana Securities mengenai perbandingan antara mendirikan perusahaan baru di bidang jasa pertambangan dengan mengakuisisi perusahaan yang sudah ada.

Menurut kajian itu, ungkap Ainuddin mengutip keteragan saksi, jika mengakuisisi perusahaan yang eksisting, maka diperlukan dana sekitar Rp72 miliar. Bila akan mendirikan perusahaan baru, maka butuh dana lebih dari Rp100 miliar.

Kasus ini telah menjerat lima terdakwa, yakni Direktur Utama PTBA periode 2011-2016 Milawarma (M), mantan Direktur Pengembangan Usaha PTBA Anung Dri Prasetya (ADP), Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Saiful Islam (SI), Analis Bisnis Madya PTBA periode 2012-2016 yang merupakan Wakil Ketua Tim Akuisisi Jasa Pertambangan Nurtima Tobing (NT), dan pemilik lama PT SBS, R Tjahyono Imawan.

Baca Juga: Edan! Rela Jual Ginjal Caleg PAN di Bondowoso untuk Biayai Kampanye

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) diberitakan sukses meningkatkan kinerja operasional sepanjang 2023. Total produksi batu bara PTBA pada Januari-Desember 2023 mencapai 41,9 juta ton, tumbuh 13% dibanding tahun 2022 yang sebesar 37,1 juta ton. Capaian produksi ini berhasil melampaui target sebesar 41 juta ton yang ditetapkan pada awal tahun 2023.

Dari total produksi tersebut, PT Satria Bahana Sarana (SBS), kontraktor jasa pertambangan yang juga cucu usaha PTBA, berkontribusi sebesar 7,5 juta ton atau 18 persen produksi. SBS adalah anak perusahaan PT BMI (anak perusahaan PT BA) setelah diakuisisi tahun pada tanggal 28 Februari 2015. ***

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah