Eksploitasi Anak Dibalut Beasiswa, Benarkah ?

26 November 2020, 12:07 WIB
Ilustrasi beasiswa balutan eksploitasi /Arahkata.com

ARAHKATA - Mendengar kata beasiswa tentu alam pikir akan membawa pada kata prestasi. Karena beasiswa selama ini selalu berjalan beriringan dengan sebuah prestasi yang dicapai. Namun bagaimana, jika ternyata beasiswa itu menjadi pembalut dalam ranah eksploitasi anak, yang notabene ada pelanggaran bahkan berujung pada pidana ?

Pada 2019 publik dihebohkan dugaan eksploitasi anak dalam penyelenggaraan Audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum. Berbeda dengan Pall Mall yang terang-terangan menjual ketelanjangan perempuan, Djarum diduga mengeksploitasi anak melalui kegiatan berbalut beasiswa.

Dalam Audisi Beasiswa, Djarum melibatkan anak kisaran usia 5 sampai 15 tahun, dimana anak-anak wajib menggunakan kaos yang menampilkan logo dan brand image rokok Djarum, yang menjadikan anak seolah papan iklan berjalan yang mempromosikan merk rokok.

Baca Juga: Lagi-Lagi Luhut Binsar Pandjaitan Jadi Menteri

Reza Indragiri Amriel selaku Konsultan Lentera Anak menegaskan, pemenang audisi bulutangkis bukanlah anak-anak yang mendapat secuil beasiswa, melainkan penyelenggara audisi.

Sebab, data membuktikan, selama pelaksanaan audisi bulutangkis ini terjadi ketimpangan antara jumlah peserta audisi dan penerima beasiswa.

“Dalam 10 tahun pelaksanaan audisi, jumlah peserta audisi naik hingga lebih 13 kali lipat., dimana total sebanyak 23.683 anak terlibat. Namun jumlah penerima beasiswa hanya 245 orang saja, yaitu 0,01% dari jumlah peserta yang mengikuti audisi,” ungkap Reza, saat media breafing, Solo (25/11).

Baca Juga: Ada Potensi Penetapan Tersangka Kasus Kerumunan Rizieq Shihab di Bogor

Menurut Reza, narasi terkait audisi beasiswa bulutangkis berawal pada kegiatan FGD di Jakarta pada 28 Agustus 2018, dimana sejumlah LSM pegiat anak menyampaikan bahwa adanya unsur eksploitasi dalam audisi beasiswa bulutangkis Djarum. Namun Reza menyesalkan bahwa pada 12 September 2019 justru terjadi kesepakatan antara KPAI dan Djarum di Kantor Kemenpora.

“Dari sini terlihat bahwa Negara masih setengah hati dalam menegaskan adanya eksploitasi dalam audisi bulutangkis. Karena Negara justru berkompromi dengan industry,” kata Reza.

Selain itu, ada beberapa permasalahan lain terkait audisi bulutangkis Djarum. Yang pertama, bahwa nama Djarum terasosiasi dengan rokok, dimana rokok mengandung zat adiktif dan berbahaya bagi Kesehatan sesuai UU Kesehatan).

Baca Juga: Maradona dan Dua Golnya ke Gawang Indonesia di Piala Dunia Junior 1979

Kedua, kegiatan audisi mengikutsertakan anak dalam penyelenggaraan yang disponsori produk tembakau (melanggar PP 109/2012 Pasal 47).

Ketiga, kegiatan audisi menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau; (melanggar PP 109/2012 Pasal 37), dimana brand image termasuk diantaranya semboyan yang digunakan oleh Produk Tembakau dan warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas Produk Tembakau yang bersangkutan.

Serta keempat, adanya dugaan eksploitasi anak karena memanfaatkan tubuh anak untuk mempromosikan brand image Djarum yang merupakan produk tembakau (melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 66 & 76).

Baca Juga: Update Harga Emas Hari Ini 26 November 2020, Pegadaian Jual Antam Dua Gram Rp1.962.000

Dalam diskusi di ranah publik, kasus audisi menimbulkan silang pendapat mengenai eksploitasi. Sebagian kalangan pemerintah menilai tidak ada eksploitasi, dan sebagian masyarakat menganggap industri rokok berjasa memajukan olah raga di Indonesia dan tidak melihat ada unsur eksploitasi.

Tetapi menurut Abdul Wahid Oscar, mantan Hakim Tinggi Pengawas, UU Perlindungan Anak No. 35/2014 dalam pasal 13 secara tegas menyebutkan salah satu hak anak yaitu : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lai nmanapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

"Jika mengacu pada Pasal 76 I UU Perlindungan Anak No. 35/2014, maka setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak," katanya.

Baca Juga: Pelaku Begal yang Tewaskan Ojol di Jakarta Utara Ditembak Polisi

Sanksi pidana yang dapat dikenakan diatur dalam pasal 88: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000; (dua ratus juta rupiah).

Lebih lanjut, dalam pasal 76 J ayat (2) UU Perlindungan Ana ada aturan yang berisi larangan sbb : (2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkaan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalah gunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.

Adapun sanksi pidana yang dapat dikenakan atas pelanggaran pasal 76 J (2) disebutkan dalam pasal 89 ayat (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000; (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000; (dua ratus juta rupiah).

Baca Juga: Maradona dan Dua Golnya ke Gawang Indonesia di Piala Dunia Junior 1979

UU Belum Memuaskan

Berbicara UU yang sudah ada Reza mengatakan belum memuaskan. Dia beralasan, ketidakpuasan jarua dilihat dari prevalenai perokok anak, yang jumlahasih tinggi hingga saat ini.

"Kalau memuaskan harusnya paling tidak prevalensi perokok anak itu semakin kecil dampaknya, salah satu ukurannya di situ. UU saat ini terkait perlindungan anak, UU tembakau soal kesehatan dan di bawahnya PP 109 tahun 2012, hanya itu satu-satunya peraturan di Indonesia yang mengatur penggunaan tembakau di Indonesia. Itu baru tingkat PP, sehingga ketika ada masalah tidak ada sanksi pidana. Terkait dengan peraturan masih sangat terbelakang," ucap Reza, menjawab pertanyaan arahkata.com.

"Sudah tidak ada aksesi FCTC, kemudian terkait undang-undang hanya ada undang-undang kesehatan, terkait dengan audisi dengan Perlindungan Anak. Kemudian, terkait dengan distribusi sponsor rokok, itu diatur aturan pemerintah. Peraturan pemerintah tidak punya kekuatan pidana sanksi hukum," tegasnya.

Editor: Mohammad Irawan

Tags

Terkini

Terpopuler