Ombudsman Pinta Pemda Bentuk Undang-Undang Soal Limbah Medis

4 Februari 2021, 20:13 WIB
Limbah medis di Bandung melonjak saat pandemi Covid-19 /Antara/Ari Bowo Sucipto/

ARAHKATA - Anggota Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie meminta pemerintah daerah, baik Pemerintah membuat peraturan daerah soal Limbah Medis Covid-19. Peraturan Daerah ini nantinya bisa dikeluarkan oleh pihak Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Tujuannya, agar limbah medis Covid-19 bisa diukur penambahannya.

Permintaan Ombudsman ini bukan tanpa sebab, hal ini karena lembaganya sudah mendalami temuan sampah medis mencapai 138 ton selama beberapa waktu, sejak Covid-19 berada di Indonesia.

Data investigasi internal Ombudsman ini sendiri dilakukan pada 31 Januari 2021 lalu. Sementara, sebelumnya Ombudsman juga sudah melakukan penelitian limbah medis sebelum Covid-19 bermukim di Indonesia berjumlah 70 ton dalam rentang beberapa waktu.

Baca Juga: Ombudsman Sebut Limbah Pasien Covid-19 Capai 138 Ton

Melihat potensi limbah rumah sakit ini bisa saja bertambah selama Covid-19 ada di Indonesia, maka harus ada payung hukum yang bisa diterapkan kepada pihak rumah sakit negeri maupun swasta supaya patuh dengan aturan dan berhati-hati dengan buangan limbah medis dari pihaknya.

"Belum ada Perda terkait pengelolaan limbah medis karena pemahaman Pemda terhadap pengelolaan limbah medis masih kurang. Jadinya banyak dibuang di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang tidak sesuai standar untuk limbah medis. Bahkan TPS-nya tidak berizin," kata Alvin Lie dalam konfrensi daring Pengelolaan dan Pengawasan Limbah Medis, Kamis, 4 Maret 2021.

Dalam konfrensi daring, Alvin menyebutkan lagi penemuan soal pengolahan limbah medis yang dilakukan oleh penghasil limbah melakukan insinerasi limbah tak berizin.

Baca Juga: Kemendagri Sebut Orient P Riwu Kore Double Kewarganegaraan  

Alvin juga menjelaskan perihal insinerasi atau proses pembakaran yang terorganisir untuk mengurangi limbah padat sehingga berbentuk abu dan dilakukan netralisasi dan solidifikasi abu hasil bakaran dan dikuburkan di dalam tanah.

"Jadi praktik pengumpulan oleh pengangkut dan penghasil, tetapi tidak memiliki izin pengumpulan/depo. Insineratornya tidak berizin," ujar Alvin Lie.

Kepada wartawan, Alvin menjelaskan bahwa insinerator adalah komponen penting untuk melakukan proses insinerasi. Insenerator ini dapat menghancurkan massa limbah sekitar 70 persen dan bisa mereduksi sampai 90 persen.

Baca Juga: 26 Terduga Teroris Jaringan JAD Tiba di Tangerang, 3 Diantaranya Wanita

Sayangnya, sambung Alvin, produsen alkes maupun fasilitas pelayanan kesehatan di daerah-daerah tidak melakukan upaya pengurangan timbulan limbah medis.

Selain itu, Alvin juga menyebutkan salah satu Pemerintah Daerah yang dianggap tidak patuh soal limbah medis adalah Pemda di Ambon. Pemda Ambon disebut Ombudsman telah melakukan pengangkutan limbah medis tanpa izin serta penguburan limbah medis yang tidak sesuai standar.

"Pemda di Ambon itu melakukan pengangkutan tanpa izin. Ada daerah yang tidak ada pengangkutan sama sekali, sehingga limbah hanya sampai di tahap penyimpanan," kata dia.

Baca Juga: Industri Perlu Optimalkan Teknologi Kelola Limbah

Masih kata Alvin, akibat perbuatan Pemda Ambon itu telah melanggar ketentuan dari kebijakan kesehatan medis terkait limbah pembuangan medis seharusnya.

"Lalu penguburan limbah medis oleh Pemkot Ambon melampaui wewenang tanpa izin tidak sesuai standar," ucap Alvin.

Instansi lain yang juga dikritik oleh Ombudsman adalah pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kesehatan yang dinilai tidak tanggap
perihal limbah medis tersebut.

Baca Juga: Siasat Pengusaha PT. Bali Global Service Hadapi Masa Sulit Pandemi

"Ini karena kurangnya sosialisasi terkait pengelolaan limbah medis, di Sumatera Utara misalnya. Sebelum tahun 2020, seluruh limbah medis yang dihasilkan itu dibuang ke tempat pembuangan sampah domestik," tutur Alvin.****

Editor: Agnes Aflianto

Tags

Terkini

Terpopuler