KPK Keluhkan Kendala Tangani Kasus RJ Lino

26 Maret 2021, 18:59 WIB
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK. /Restu Fadilah/ARAHKATA

ARAHKATA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui ada kendala yang dihadapi oleh para penyidik dalam menangani kasus Richard Joost Lino atau RJ Lino.

Makanya, penyidik KPK baru bisa menahan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II itu hari ini, Jumat, 26 Maret 2021 setelah lima tahun menyandang status tersangka.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwatta mengatakan, ada beberapa kendala yang dihadapi penyidik KPK dalam menangani kasus RJ Lino.

Baca Juga: Total Kerugian Negara Pembuatan QCC Tak Dihitung BPK, RJ Lino: Memalukan!

Pertama, perhitungan kerugian negara. Di mana, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) itu meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat tersebut.

"Dan itu sudah kami upayakan baik melalui kedutaan China," ujar Alex dalam Konferensi Pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Maret 2021.

Lebih jauh Alex menjelaskan, KPK pernah menyampaikan kepada inspektorat China terkait hal tersebut.

Baca Juga: Halo Guys, Ini Tips Pilih Tips Baju Untuk Para Puan

KPK menyampaikan bahwa penyidik KPK membutuhkan berapa harga sesungguhnya QCC (Quay Container Crane) yang dijual oleh PT HDHM.

"Bahkan tahun 2018, pak Laode dan pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu Menteri atau Jaksa Agung. Tapi, pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan. Jadi, itulah kendala yang dihadapi pada periode keempat selama empat tahun," urai Alex.

Sementara di satu sisi, lanjut Alex, BPK menuntut untuk tetap ada dokumen ataupun data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara.

Baca Juga: Pelatih Timnas U-22 Terkena COVID-19, Dubes Korsel Minta Doakan

Di sisi lain, penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC atau setidaknya harga pembanding.

"Kalau misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan. Sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan kerugian keuangan negara," ucap Alex.

Kendati demikian, lanjut Alex, KPK tetap minta BPK melakukan penghitungan kerugian negara. Hasilnya disampaikan bahwa BPK yang ada berdasarkan dokumen yang ada terjadi kerugian dalam pemeliharaan QCC.

Baca Juga: Mengapa Kucing Peliharaan Perlu Disterilisasi?

Sedangkan alatnya sendiri perhitungan kerugian negara, BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding.

"Kami menggunakan ahli dari ITB. Tadi disebutkan, ahli dari ITB berupaya menghitung harga pokok produksi dari QCC tersebut," kata Alex.

Alex mengakui bahwa dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut histories cost, itu biasanya didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut temasuk harga pembanding.

Baca Juga: Isu Panas Bambang Pamungkas, Dituding Miliki Anak dengan Perempuan Lain

Tapi, ada juga metode lain yaitu menghitung replacement cost. Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri.

Nah, KPK menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa.

"Itu yang kemudian kami menjadikan dasar bahwa memang terjadi selisih yang signifikan dibandingkan dengan harga yang dibeli oleh Pelindo II dari HDHM yang sebesar US$15 juta, kontraknya segitu. Sementara ahli dari ITB mungkin termasuk ongkos angkut ke sini secara total hanya US$10 juta. Jadi perbedaan sekitar US$5 juta," pungkas Alex.***

Editor: Agnes Aflianto

Tags

Terkini

Terpopuler