Bom Bunuh Diri di Polsek Astana Anyar, Setara Institute: Butuh Kesatupaduan Langkah Penanganan Terorisme

- 8 Desember 2022, 07:35 WIB
bom bunuh diri polsek astana anyar berikut kronologi dan jumlah korban akibat ledakan
bom bunuh diri polsek astana anyar berikut kronologi dan jumlah korban akibat ledakan /Antara/Raisan Al Farisi

 

 

ARAHKATA – Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astana Anyar, Bandung, Rabu, 7 Desember 2022 pagi.

Telah menyebarkan pesan bahwa terorisme adalah ancaman laten yang kapanpun bisa terjadi.

Ancaman laten itu dapat dipicu oleh banyak variabel dan sangat bergantung pada "enabling evironment" dan "push and pull factors", yang bisa jadi tidak berhubungan dengan sasaran tindakan kejahatan tersebut.

Baca Juga: Ferdy Sambo: Bharada E Harusnya Dipecat Juga, Jangan Hanya Saya

"Satu hal yang pasti bahwa variabel statis yakni ideologi intoleran dan radikal telah melekat pada aktor pelaku atau kelompoknya," kata Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima ArahKata.com, Rabu, 7 Desember 2022.

Oleh karena itu, SETARA Institute mengutuk keras peristiwa bom bunuh diri tersebut.

Selain itu, SETARA Institute juga turut berbela sungkawa kepada para korban, dan mendorong institusi Polri untuk mengungkap tuntas peristiwa peristiwa bom bunuh diri.

Baca Juga: KPK Peringatkan Pengelola Bansos Korban Cianjur Terancam Hukuman Mati

Hingga diperoleh gambaran jejaring yang melingkupinya, guna kepentingan penanganan yang lebih akuntabel.

Jika diasumsikan identitas pelaku yang telah beredar benar, pelaku adalah residivis kasus terorisme di 2017 dan telah bebas sejak Maret 2021.

Jika benar, kata Hendardi, maka pesan utama peristiwa ini adalah ditujukan pada kerja pascapenanganan tindak pidana terorisme, yakni pemasyarakatan dan deradikalisasi.

Baca Juga: Ketua MPR RI Bamsoet Kutuk Keras Bom Diri di Polsek Astana Anyar Bandung

"Keberulangan tindakan bom bunuh diri ini menunjukkan bahwa dukungan dan sinergi kinerja deradikalisasi yang dilaksanakan oleh BNPT mesti diperkuat," tambah Hendardi.

Menurut dia, "early warning dan early response (EWERS) system" yang dikembangkan di daerah belum banyak membantu mencegah "recovery" kelompok teroris untuk melakukan tindakan serupa.

Padahal, sambung dia, sederet regulasi pemerintah telah diterbitkan, termasuk berbagai rencana aksi mencegah terjadinya kekerasan ekstremis.

Baca Juga: Pelaku Bom Astana Anyar Tafsirkan Isi QS 9 Ayat 29 Jadi Seruan Perang

Untuk itu, dia menilai, BNPT dan Polri bisa mengefektifkan berbagai regulasi dan inisiasi untuk memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah.

Jika kerja hulu pencegahan intoleransi dan kerja hilir deradikalisasi tidak sinergis, maka potensi terorisme akan terus berulang.

Sebagai institusi terdepan, Polri selalu akan menjadi sasaran utama tindakan kekerasan dan "political revenge" dari kelompok pengusung aspirasi politik intoleran.

Baca Juga: Masyarakat Diimbau Tidak Sebarkan Foto Kondisi Pelaku Bom Bunuh Diri

"Kesatupaduan langkah berbagai institusi negara dibutuhkan untuk mengatasi kekerasan ekstremis yang berulang," cetus Hendardi.

Seperti yang berulang kali SETARA Institute ingatkan bahwa kerja pencegahan intoleransi yang selama ini seringkali dibiarkan hingga kelompok-kelompok tertentu mewujud menjadi tindakan radikal kekerasan dan terorisme, mutlak menjadi prioritas agenda.

"Pencegahan di hulu, yakni menangani intoleransi adalah salah satu cara menangani persoalan keberulangan terorisme," pungkas Hendardi.

Baca Juga: Ridwan Kamil Tinjau Lokasi Bom Bunuh Diri, Minta Masyarakat Tetap Tenang

Diketahui, pelaku yang bernama Agus Sujatno alias Abu Muslim alias Abu Abdullah adalah mantan napi teroris.

Sebelumnya, Abu Abdullah mendekam empat tahun di penjara setelah dinyatakan bersalah dalam aksi di Cicendo, Jawa Barat, tahun 2017 lalu.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x