Keputusan MK Cederai Demokrasi Koalisi Masyarakat Sipil Siap Kawal Pemilu

- 6 November 2023, 13:22 WIB
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Hakim menolak ajuan dari Rizal Ramli terkait ambang batas presiden.
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Hakim menolak ajuan dari Rizal Ramli terkait ambang batas presiden. /Antara

"Kemunduran demokrasi di Indonesia menjadi sorotan dua media internasional, hal tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan. Terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024. Putusan (MK) yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka, adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia," katanya, dikutip ArahKata.com pada Senin, 6 November 2023.

Julius Ibrani, Ketua PBHI juga mengaku Kemunduran tersebut telah banyak diangkat oleh sejumlah pakar dan analis politik baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.

Baca Juga: Dubes Palestina: Salam dari Bangsa Palestina Sampaikan Terima Kasih kepada Indonesia

"Secara tegas, Putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibran lah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres," ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua WALHI, M. Islah menegaskan Konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK (Paman dari Gibran) sekaligus Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90 tersebut, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku Hakim tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang. Hal ini merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia.

"Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang terang benderang terjadi. Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa," tuturnya.

Baca Juga: Aksi Akbar Bela Palestina Jutaan Rakyat Indonesia Padati Kawasan Monas

" Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan," sambungnya.

Selain itu, dalam perspektif Pemilu, proses awal Pemilu yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses Pemilu yang akan dilakukan. Sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya.

"Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK. Hal itu karena sejak dini, Penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi. Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK," ucapnya.

Halaman:

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x