Intervensi Industri Rokok yang Tinggi dalam Regulasi Kesehatan, Abaikan Perlindungan Anak Indonesia

- 1 Juni 2024, 00:10 WIB
Media Briefing dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024 bertajuk ”Menguak Campur Tangan Industri Rokok dalam Melemahkan UU dan RPP Kesehatan di Indonesia”
Media Briefing dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024 bertajuk ”Menguak Campur Tangan Industri Rokok dalam Melemahkan UU dan RPP Kesehatan di Indonesia” /Wijaya/ARAHKATA

“Dari hasil pemantauan kami, jumlah pihak yang dilibatkan untuk menyuarakan kepentingan industri tembakau dalam proses penyusunan RPP lebih banyak dan lebih kencang,” tegas Bigwanto. Naarasi yang digunakan dalam proses penyusunan UU Kesehatan kembali disuarakan, khususnya desakan agar pengaturan zat adiktif dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Bahkan ada pihak yang menyuarakan agar regulasi dikembalikan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

 Baca Juga: PP Muhammadiyah Tegaskan Tarik Panduan Rekomendasi Buku Sastra yang Menyimpang

Ia menambahkan, industri rokok dan kelompok pendukungnya terkonfirmasi tidak hanya berupaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang RPP Kesehatan melalui pemanfaatan media massa, tetapi juga konsisten menyuarakan suara-suara penolakan terhadap substansi yang tengah dibahas. Kelompok organisasi ini diantaranya asosiasi industri tembakau, asosiasi pengusaha, pedagang pasar, pedagang ritel, kelompok petani dan buruh, komunitas, lembaga mahasiswa, dan asosiasi industri media dan periklanan.

Bahkan narasi penolakan terhadap sejumlah isu substantif dalam RPP Kesehatan juga disuarakan oleh sejumlah perwakilan Kementerian, dimana terdapat tujuh perwakilan kementerian, yakni Kemenperin, Kemenaker, Kemenkeu yang diwakili Direktorat Jenderal Bea Cukai/DJBC, Kemenkumham, Kemenparekraf, Kementerian Pertanian, dan Kemenko Perekonomian.

Menurut Bigwanto hal ini sangat miris ketika kepentingan swasta justru mengalahkan kepentingan masyarakat, khususnya anak. “Kekuatan lobi swasta di Indonesia telah menjadikan perlindungan anak terpinggirkan. Kondisi ini sangat menyedihkan,” tegas Bigwanto.

 Baca Juga: PP Muhammadiyah Tegaskan Tarik Panduan Rekomendasi Buku Sastra yang Menyimpang

Sepakat dengan Bigwanto, Adnan Topan Husodo, Visi Integritas Nusantara, menyatakan kebijakan publik di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh kepentingan swasta dan korupsi, yang disebut sebagai state capture dimana sektor swasta lebih menentukan arah kebijakan daripada masyarakat umum.

”Hal ini terjadi di berbagai sektor, termasuk kesehatan dan perubahan iklim. Banyak kebijakan diputuskan tanpa partisipasi publik yang berarti, seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law. Hubungan erat antara pengusaha dan pejabat publik memperburuk keadaan, dengan banyak pejabat memiliki rangkap jabatan atau beralih ke sektor swasta tanpa jeda waktu yang memadai. Mekanisme lobi juga tidak diatur dengan baik, menyebabkan tradisi suap dan gratifikasi. Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada penguatan aturan konflik kepentingan dan transparansi dalam proses lobi, serta advokasi kebijakan yang lebih luas melalui media sosial mengingat media tradisional hanya mencakup sebagian kecil informasi yang diakses masyarakat,” kata Adnan.

Sementara itu Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menegaskan bahwa persoalan perlindungan anak dari rokok akan selalu menjadi unfinished agenda sepanjang pimpinan negara tidak punya komitmen untuk melindungi anak dari paparan rokok dan dari target pemasaran industri rokok.

Baca Juga: BPKP Konsisten Mengabdikan Diri Untuk Pembangunan Negeri

Halaman:

Editor: Wijaya Kusnaryanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah