Sopremasi Gelar Unjuk Rasa, Ini Tuntutannya

- 23 November 2020, 19:37 WIB
Unjuk rasa Sopremasi di Patung Kuda.
Unjuk rasa Sopremasi di Patung Kuda. /Arahkata



ARAHKITA - Solidaritas Pergerakan Mahasiswa Indonesia (SOPREMASI) mengatakan, Indonesia adalah negara hukum (Pasl 1 ayat 3 UUD 1945), dengan demikian sistem ketatanegaraan kita seluruhnya berangkat pada aturan main (the rule of the game) hukum. Tentu, faktor sosiologis dan filosofis juga harus diperhatikan, terutama dalam proses pembentukan undang-undang.

Hal itu sebagaiman di sampaikan Koordinator SOPREMASI, Bahar saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda Indosat, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Senin 23 November 2020.

Baca Juga: Karena Janji, Aliansi LSM Demo PT. Semen Bosowa

Menurut Bahar, Pada 5 Oktober 2020 lalu, DPR bersama-sama unsur eksekutif (satgas) mengesahkan Omnibus Law sebagai undang-undang. Yang kemudian menjadi undang-undang no 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja.

"Walaupun kita tahu bahwa dalam proses pembentukan undang-undang tersebut cacat, baik secara formil maupun materil," jelasnya

Oleh karena itu, Mahasiswa USAHID ini menyebut, dalam pembentukan undang-undang seharusnya memperhatikan dua hal, yakni kewenangan lembaga negara dan keinginan rakyat.

Baca Juga: Kapolda Dicopot, Demo UU Ciptaker Berlanjut DPR akan Dikepung

"Secara filosofi bahwa konstitusionalisme pembentuk undang-undang itu harus diturunkan dari konsep kedaulatan, masuk ke konsep kekuasaan, kemudian ke kewenangan untuk membentuk undang-undang," tutur Bahar di sela aksinya

Pasalnya, proses legislasi yang menyimpang semakin dipertontonkan secara mata telanjang, bahkan tidak malu-malu lagi. Adanya aturan yang jelas dalam UU No. 12 tahun 2011, pertanyaan besar yang muncul dalam benak banyak orang, mengapa pembuat undang-undang menabrak aturan main yang telah dibuatnya sendiri.

Meski demikian, pembentuk Rancangan undang-undang Omnibus law sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara.

Baca Juga: Bela Nabi, Aktivis Kalsel Besok Gelar Demo Besar

Menurut kajian kami, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus law berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. "Proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang dipandang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang a quo," tegas Bahar

Di tempat yang sama Mahasiswa UIJ, Muldiansyah mengatakan bahwa,
dalam perspektif formil, DPR telah melanggar asas pembentukan undang-undang sebagaimana di atur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 2011 yaitu mengenai transparansi dan penyerapan aspirasi masyarakat atau pihak-pihak yang akan berdampak langsung kepada hajat hidup mereka. Dalam hal ini buruh, mahasiswa, pelaku usaha menengah kebawah, masyarakat adat dst.

"Secara politik hukum pembentukan undang-undang Omnibus Law terkesan terburu-buru dan instan. Sehingga kami menilai bahwa ada itikad tidak baik dari DPR dalam membentuk undang-undang Omnibus Law," terangnya

Sementara itu, jika ditinjau secara materil. Banyak substansi dari undang-undang tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

"Secara sosiologis undang-undang Omnibus Law justru memangkas hak-hak masyarakat, buruh, mahasiswa, masyarakat adat serta pelaku usaha menengah kebawah," tegasnya

Salah satu yang paling menonjol, menurut Mul sapaan akrabnya, adalah pemangkasan hak pesangon buruh yang tadinya (UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan) diterima oleh buruh sebanyak 32 kali, di dalam undang-undang Omnibus Law justru di pangkas menjadi 25 kali saja.

Baca Juga: Sejumlah Massa Kembali Demo di Depan Kedutaan Perancis di Jakarta

Selain itu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mestinya maksimal 2 tahun dan di angkat menjadi karyawan tetap, di dalam Omnibus Law justru di hilangkan. Artinya, masa kontrak buruh bisa seumur hidupnya bekerja.

Tentunya seluruh persoalan di atas berangkat dari otak bulus partai politik melalui wakil-wakilnya di DPR. Bahwa suara setuju di DPR adalah setingan dari partai politik yang mestinya sebagai lembaga yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan partainya.

Maka dari itu kami menuntut:

Pertama, bubarkan partai politik pendukung omnibus law

Kedua, omnibus law cacat hukum

Baca Juga: Ferdinand Hutahahean: DPR Tidak Usah Genit Soal Minuman Beralkohol

Ketiga, Bubarkan satgas penggagas omnibus law dan copot 12 orang yang berada didalamnya

Keempat, audit anggaran pembentukan Naskah akademik Studi Banding Omnibus Law

Kelima, copot Kapolri Atas Represefitas kapolri aksi omnibus law.***

Editor: Alamsyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x