Dari sisi ekonomi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan menurut Evita adalah adanya potensi tambahan biaya sebesar Rp 16 triliun seperti yang disampaikan pelaku usahan galon guna ulang.
Selain itu juga sisi tenaga kerja jika kebijakan BPOM itu diterapkan. Di mana, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri galon guna ulang ini diperkirakan mencapai 40 ribu.
Baca Juga: Catat! Enam Cara Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i
Jika diasumsikan satu orang menanggung empat anggota keluarga, itu artinya ada sekitar 160 ribu orang yang tergantung pada industri air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang.
“Inilah perhitungan yang kemudian menjadi pertimbangan kami melakukan analisa terhadap kebijakan tersebut. Kemudian estimasi kerugian sekitar 170 juta buah GGU PC (galon guna ulang Polikarbonat) itu bisa mencapai Rp 6 triliun. Ditambah dengan biaya pengganti galon non GGU sekitar Rp 10 triliun. Artinya, kebijakan pelabelan BPA ini apabila diterapkan berpotensi menimbulkan beban sebanyak Rp 16 triliun tadi,” ungkapnya.
Stakeholder lainnya yang juga menjadi pembicara di acara ini, Riris Marito, Koordinator Fungsi Industri Pengolahan Susu dan Minuman Lainnya Kemenperin, mengatakan pada prinsipnya regulasi dibuat untuk mengatur yang tujuannya memberi manfaat dan kebaikan untuk berbagai pihak.
Baca Juga: Noussair Mazraoui Resmi Bergabung Bayern Munchen
Dia mencontohkan regulasi yang mengatur industri, itu juga harus memikirkan hal lain.
“Begitu juga dengan kebijakan pelabelan BPA ini yang terkait keamanan pangan ini, BPOM juga harus memperhatikan aspek lain yang dapat memberikan kemaslahatan bersama. Karenanya, BPOM juga harus mengajak semua stakeholder lainnya untuk membahas kebijakan tersebut,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Marcellina Nuring, Direktur Kebijakan Persaingan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan kebijakan pemerintah seharusnya hadir untuk mengatasi suatu masalah.