UAS Ingatkan Posisi 'Habib' dalam Islam

- 14 November 2020, 08:29 WIB
Ustad Abdul Somad saat memberikan tausyiah di Pondok Pesantren Agrokultural Megamendung Bogor (YouTube)
Ustad Abdul Somad saat memberikan tausyiah di Pondok Pesantren Agrokultural Megamendung Bogor (YouTube) /Arahkata.com

Para tokoh di kalangan ini mendapat tempat di hati elit dan akar rumput pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Karena pendekatan persuasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal dengan leluasa dan sukarela membuka diri terhadap agama Islam yang relatif baru sehingga peluang dakwah semakin luas. Begitu prolog yang disampaikan Abdillah Toha dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara.

Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain. Tidak hanya itu, yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya Islam menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara damai.

Sebutan habib atau sayyid, konon berasal dari “kasta sosial” kaum Arab Hadrami masa lampau, namun tetap penting ditinjau sehubungan sejarah mereka di Indonesia. Kasta tertinggi diduduki para sayyid dan habib, dengan status silsilah mereka yang terhubung dengan Nabi Muhammad. Mengikuti mereka golongan para ulama yang secara nasab tidak bersambung dengan Rasulullah – para masyayikh atau Syekh, kemudian sisanya adalah dari kalangan saudagar atau orang biasa.

Sebagaimana dicatat Ismail Fajrie Alatas, para sayyid dan habib ini memiliki peran sosial yang penting, karena sebagaimana terjadi di Hadramaut, merekalah role model dalam persoalan keagamaan – kebanyakan malah dikenal sebagai waliyullah. Hingga migrasi mereka ke Indonesia, peranan ini tetap langgeng.

Sesampainya di Indonesia melalui arus migrasi besar-besaran pada kurun abad ke-18 dan 19, melalui ekses perdagangan maupun tujuan dakwah, para habib berinteraksi dengan masyarakat, tokoh agama dan penguasa setempat. Mereka memperkuat pengaruh mereka dalam dakwah Islam – mungkin juga sedikit banyak dalam kancah politik.

Kalangan habib ini ada yang dekat dengan penguasa setempat sehingga memiliki jabatan tinggi, seperti digambarkan pada kasus Habib Utsman bin Yahya di Batavia. Tak sedikit juga yang fokus pada pendidikan agama, seperti contoh mendirikan institusi pendidikan Jam’iat Kheir yang sampai sekarang masih aktif di Jakarta. Tak terhitung pula pesantren dan majelis taklim di seantero Indonesia sebagai wujud aktivitas dakwah mereka. Melalui kontribusi, pengayoman dan pengaruh itu, kalangan Arab Hadramaut – khususnya habaib dapat eksis dan mendapat tempat di hati masyarakat.

Hanya saja peranan para habib ini bukannya tanpa kritik. Otoritas keagamaan mereka, dikritik kalangan muslim yang terpapar gagasan modernitas. Posisi kaum habaib disorot karena dalam beberapa wacana, mereka dipandang masih terlalu kaku dan kurang memiliki semangat pembaruan.

Pendataan perdana keturunan Alawiyin berlangsung pada 1932. Kini diperkirakan jumlah keturuan Hadramaut antara 500 ribu – 1,5 juta di Indonesia. Jumlah ini, berdasarkan pendataan tahun 1932-1940, termasuk 68 marga atau kabilah (kaum dari satu ayah) yang ada di Indonesia. Sementara ada 239 marga di Indonesia yang tidak termasuk keturunan Alawiyin. Artinya, jumlah marga keturunan Nabi lebih kecil dibanding marga Arab lain.

Untuk mengetahui seseorang keturunan Alawiyin, kita harus mendatangi Rabithah. Setiap orang berhak memohon kartu identitas atau buku silsilah nasab Alawiyin setelah diuji kebenarannya. Metodenya, ia harus bisa menyebutkan tiga fam atau marga di atasnya, mengisi formulir, dan membawa saksi. Jika terbukti validitasnya maka Rabithah akan mengeluarkan buku tersebut. 

“Kalau sudah dirunut (silsilah keluarga di atasnya) sampai tiga, itu biasanya yang keempat ketemu. Tetapi kalau tidak ketemu, kami tidak bisa bilang apa-apa, karena data kita terbatas," kata Habib Zein. "Kadang ada orang meminta pengajuan nasab, kita tidak bisa kasih karena silsilahnya terputus dan tidak ketemu," dikutip dari tirto.id.

Halaman:

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x