Vaksin COVID-19 Anak Belum Ada, Indonesia Darurat Perokok Anak, Apa kabar Revisi PP 109/2012?

7 Mei 2021, 14:20 WIB
Ilustrasi mempertanyakan revisi PP 109/2012 yang tak kunjung selesai di tengah kondisi masa depan anak yang dikhawatirkan. /Foto: Ilustrasi arahkata.com/irawan

ARAHKATA - Di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai, ditambah anak-anak yang belum ada vaksinasi dalam penanggulangan COVID-19, ranah bahaya rokok pun ikut menyemarakkan posisi anak-anak yang seakan menjadi target dalam penyebaran penyakit.

Nada sumbang yang mengatakan urgenitas revisi PP 109/2012, 1belumlah diposisikan sebagai ranah yang urgen, menjadi pertanyaan besar. Apa nilai urgenitas itu sendiri, di tengah generasi penerus bangsa yang belum mampu meneriakkan haknya, harus menerima apa yang ditetapkan para pengambil kebijakan. Pertaruhan besar bagi bangsa ini, mempertaruhkan kesehatan generasi penerus dengan ragam serbuan penyakit yang mengintai.

Kondisi COVID-19 seharusnya menjadi sinyal, bagaimana generasi penerus ini harus bertahan dan diamankan. Di tengah kondisi COVID-19 yang menjalar, rokok tak kunjung usai diperdebatkan. Pengguna rokok dari kaum anak-anak yang terus meningkat, menjadi sinyal bukan COVID-19 saja yang menggawat.

Baca Juga: Curhatan Yang Tak Bisa Mudik, Liebie Lepas 'Kemenangan'

Penjualan rokok jika melihat pasar yang ada, masihlah sangat mudah didapatkan. PP 109/2012 yang sudah ada pun, ternyata masih banyak revisi yang harus dilakukan. Sudah barang tentu revisi harus dilakukan, namun hingga kini revisi PP tersebut seperti masih diangan-angan.

Terkait dengan bagaimana pentingnya vaksinasi, dibandingkan dari harga vaksin dan rokok, Prof. Dr.dr Soedjatmiko Sp.A(K), M.Si, yang juga merupakan sekretaris dari Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengatakan, seseorang yang mengkonsumsi rokok bisa dihitung kapan menghabiskan rokok dalam satu harinya. Jika dikalkulasikan hingga sebulan, setahun berapa yang dihasilkan dari konsumsi rokok.

"Padahal diketahui sebagai bahan yang berbahaya jika dikaitkan dengan vaksin contohnya vaksin rubella, jika sudah sampai terkena karena tidak melakukan vaksin dan terkena rubella biaya pengobatannya yang dikeluarkan mencapai Rp.600 juta-an," katanya.

Baca Juga: Kejari Depok Berbagi 1.850 Paket makan Buka Puasa di Ramadhan 1442 Hijriah

Bagi orang tua yang mengkonsumsi rokok, dan mengatakan vaksin mahal, jika mau melakukan puasa rokok, dengan tidak merokok bisa membeli vaksin untuk pencegahan penyakit.

"Padahal kalau puasa rokok, tidak melakukan merokok, bisa membeli vaksin dan itu merupakan pilihan yang terbaik. Tidak ada alasan bagi orang tua yang mengatakan bahwa vaksinasi itu mahal. Padahal dia merokok, minuman keras dan lain sebagainya," katanya.

Melihat hal tersebut, sudah barang tentu vaksinasi menjadi cara yang harus dilakukan dalam mencegah penyakit sejak dini. Namun, apa mau dikata di era pandemi saat ini, vaksin COVID-19 untuk anak belum tersedia.

Terkait dengan iklan rokok yang ada, Ketua Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Muharman mengatakan, iklan tentu bertujuan untuk meningkatkan penjualan. Artinya, akan terjadi peningkatan konsumsi dari target iklan dibuat.

Baca Juga: Jelang Larangan Mudik, Terminal Bongki Sinjai Terlihat Sepi

"Nah, akan hal nya iklan rokok, tentu saja akan mempengaruhi cara pandang anak dalam melihat produk rokok. Rokok kan di asosiasikan oleh iklannya sebagai produk yang "biasa saja" layaknya permen. Nah, anak-anak tidak terkecoh akan hal itu. Padahal, rokok harus masuk dalam deretan produk yang berbahaya jika di konsumsi. Iklan tentu saja mempengaruhi anak agar merokok. Dengan demikian angka perokok anak nai," terang pria yang akrab dipanggil Imoe, saat dihubungi, Kamis, 6 Mei 2021.

Terkait dengan kebijakan Pemerintah Daerah, Imoe menjelaskan, di sumatera barat umumnya Pemda sudah melihat bagaimana rokok sudah menjadi hal membahayakan kehidupan anak.

"Ada beberapa yang berani membuat peraturan daerah untuk mengatur pelarangan. Tetapi sebagian masih ragu-ragu karena payung hukum regulasi nasional belum menegaskan itu. Makanya agar keinginan daerah bisa cepat terwujud, pusat harus segera revisi pp 109," jelasnya.

"Ada yang membuat perda, perwako dan bentuk regulasi pelarangan iklan rokok," lanjutnya.

Dia menegaskan, regulasi di tingkat pusat masih lemah, terutama soal bicara iklan rokok. khususnya pp 109. Jika melihat perkembangan yang ada, masih kata Imoe, baru-bary ini sudah ada perpres 25/2021 tentang KLA yang sudah menyatakan pelarangan iklan rokok.

Baca Juga: AKI di Jember Tertinggi, Fatayat NU Didorong Intensifkan Penyuluhan

"Harusnya itu jadi penguat buat kemenkes agar bisa segera melakukan revisi pp 109 terutama soal pelarangan iklan rokok ini," ungkapnya.

"Harusnya pp 109 harus banyak di lihat dari sudut pandang perlindungan anak, sehingga stakeholder yang terkait dalam pp tersebut bisa mempercepat revisi yang sejalan dengan upaya perlindungan anak. Tidak perlu diperdebatkan panjang karena bicara anak bicara masa depan. Nah indikator 17 akan mudah di capai oleh daerah apabila pp 109 ikut menguatkan capaian tersebut melalui revisinya," pungkasnya.***

Editor: Mohammad Irawan

Tags

Terkini

Terpopuler