"Sebab, kalau semangat pengusaha batu bara yang seperti ini diteruskan bisa-bisa PLTU kita padam," jelas Mulyanto.
Berdasar hasil kunjungan tersebut, Mulyanto mendapat laporan bahwa sejak Desember 2020, cadangan batu bara di PLTU Suralaya menipis. Persediaan cadangan hanya cukup untuk 5 hari operasi. Padahal pada saat kondisi normal cadangan batu bara tersebut bisa untuk 15 hari operasi PLTU.
Baca Juga: PKS Desak Pemerintah Cabut Izin Operasi PLTP Sorik Merapi
Terkadang untuk menjaga agar PLTU Suralaya tetap beroperasi terpaksa harus membakar BBM yang biayanya lebih mahal.
"Ini kondisi yang cukup riskan bagi ketahanan energi nasional. Karenanya Pemerintah harus bersikap tegas," tegas Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Mulyanto menilai kebijakan Pemerintah dengan mencaping (menjaga) harga batu bara agar konstan melalui instrumen HBA (harga batu bara acuan) serta penerapan DMO perlu diikuti dengan ketegasan pengawasan pelaksanaannya.
Baca Juga: PKS: Target Lifting Minyak 1 Juta BPH Sangat Ambisius
Agar kebutuhan cadangan batu bara untuk operasi PLTU stabil dan aman untuk batas waktu yang ditentukan.
Selama ini Mulyanto menilai Pemerintah kurang tegas menetapkan penalti bagi pengusaha batu bara yang mengabaikan kuota DMO dan tetap mengekspor produk ke luar negeri.
"Contohnya seperti sekarang ini, ketika harga batu bara melambung, kewajiban DMO tersebut diabaikan pengusaha batu bara.