‘’Mereka tidak mementingkan politik kebangsaan, tidak peduli tindakan mereka mengancam persatuan bangsa atau tidak, pokoknya asal menang, segala cara bakal mereka lakukan. Padahal, berita bohong dan fitnah yang mereka sebar membekas di hati masyarakat bertahun-tahun, bahkan sampai Pemilu telah lama usai,’’ jelasnya.
Dia mengungkapkan penggunaan narasi politik identitas telah sampai pada fase yang sangat sensitif, ketika relasi agama dan negara dipersoalkan lagi.
Baca Juga: Jhony G Plate Jadi Tersangka Kasus Korupsi BTS, Menkominfo Langsung Ditahan
Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibenturkan dengan ideologi khilafah, bahkan sangat terasa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya mengadu domba kaum nasionalis dengan kelompok Islam, Tentara Nasional Indonesia (TNI) versus Polri.
Dia pun mengajak semua aktivis partai politik dari partai apa pun untuk memaksimalkan Undang Undang No 2 tahun 2011 tentang partai politik.
Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa parpol harus melakukan pendidikan politik, menciptakan iklim persatuan dan kesatuan, menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, mengamalkan Pancasila, serta memelihara keutuhan NKRI.
Baca Juga: Tim Nasional Indonesia Akhiri Penantian Medali Emas SEA Games 32 Tahun
Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini juga mengimbau semua pihak kembali pada UU Pemilu No 7 tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf c, yang menegaskan pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain.***