Kasus Mafia Tanah, Ronny F Sompie: Hakim Sering Tak Periksa Perkara Secara Materiil

- 4 Juli 2022, 19:50 WIB
Ilustrasi - Menerima Sertifikat Tanah
Ilustrasi - Menerima Sertifikat Tanah /Instagram/@fifimskmurproperti

ARAHKATA – Mafia tanah ditengarai punya hubungan kerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum.

Pihak pengadilan dan pihak-pihak terkait lainnya.

Mafia tanah sesungguhnya adalah mafia hukum.

Baca Juga: Serobot Tanah Rakyat, Beathor Ingatkan Istana yang Bersahabat dengan Pelaku Bisnis Properti

Hal itu disampaikan Irjen Pol (Purn) Ronny F Sompie dalam Forum Grup Diskusi (FGD) yang bertema "Konflik Pertanahan", di Bintaro, Jakarta Selatan, Sabtu, 2 Juli 2022.

"Hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara di sidang pengadilan perdata secara materiil," kata Ronny.

Mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri itu mengatakan, pembuktian di sidang pengadilan perdata memang bersifat menyerahkan sepenuhnya kepada penggugat yang mendalilkan dengan pembuktian.

Baca Juga: Rampas Uang Rakyat Eks Kades di Tangerang Buronan Nasional

Oleh karena itu, sergahnya kemudian, hakim perdata selalu membebankan pembuktian kepada pihak yang mendalilkan bahwa mereka adalah pemilik tanah tersebut.

"Seyogianya hakim perdata perlu menegakkan hukum, sehingga tidak hanya diperoleh kepastian hukum tetapi hakim juga harus menegakkan keadilan hukum, agar menemukan kemanfaatan hukum sebagaimana tujuan penegakan hukum," jelas Ronny.

Mantan Kapolda Bali itu juga menuturkan, tidak jarang penggugat yang bukanlah berhak sebagai pemilik tanah kemudian menggugat dengan sesama mafia hukum yang juga tidak ada kaitannya dengan kepemilikan tanah tersebut.

Baca Juga: Rampas Uang Rakyat Rp 2 Miliar, Istri Mantan Kades Ditahan Kejari

"Hal ini perlu dibantu oleh aparat yang berkompeten dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk menjelaskan kebenaran materil dari kepemilikan tanah berdasarkan minute akte yang ada dan terdaftar di BPN," ujarnya.

Menurut dia, oleh karena aparat dari BPN tidak hadir di sidang pengadilan perdata, maka putusan hakim perdata akan salah arah dan bisa dijadikan dasar dibuatkannya sertifikat tanah atas nama penggugat yang telah dimenangkan oleh putusan hakim yang tidak berpihak kepada keadilan hukum yang sebenarnya.

"Inilah yang saya katakan sebagai permainan mafia hukum," pungkas Ronny.

Baca Juga: Nekat! Mahasiswi Hajar Petugas, Dijerat 5 Tahun Penjara

Surat Letter C Tidak Berlaku

Sementara itu, Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Mumu Mugaera Djohar SH M.Kn mengatakan, surat Letter C atau girik, petok, verponding dan segala dokumen tanah yang lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987.

Dia mengatakan, batas waktu dokumen-dokumen lama itu sudah lewat 35 tahun tetapi masih saja ada pihak lain yang menggunakan dokumen-dokumen tersebut di pengadilan.

“Sekarang ini tidak ada lagi Letter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma catatan Leter C,” ujar Mugaera Djohar.

Baca Juga: Holywings Digugat Pemuda Islam dan Kristen Rp 35,5 Triliun

Semestinya, sambung dia, semua pihak menyadari bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi, tapi nyatanya masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti letter C atau girik, letter D atau petok, verponding dan lain-lain sebagainya.

Tragisnya dalam banyak kasus perdata tanah, sergahnya kemudian, surat letter C atau letter D masih juga diterima sebagai alat bukti.

Ia menegaskan, surat letter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga bukan bukti kepemilikan tanah.

“Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim," tandasnya.

Baca Juga: Kasus Gugatan Ketua KAI vs Advokat Semakin Memanas

Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang ini mengungkapkan, setiap tahun rata-rata ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di seluruh pengadilan di Indonesia.

"Sebanyak 10 putusan perkara perdata tanah per hari kerja (dengan asumsi 1 tahun setara 300 hari kerja), atau 85,5 putusan perdata tanah per provinsi per tahun," ungkapnya.

Pemerintah Tidak Konsisten

Di lain sisi, advokat senior itu mengatakan, meskipun Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Baca Juga: Biadab! 11 Santriwati Diduga Dicabuli 4 Ustaz, Korban Diancam Tak Lapor Orang Tua

Dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih tetapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih saja karut marut.

Menurut dia, UUPA dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus namun sayangnya tidak diterapkan secara konsisten.

Baca Juga: Kasus Promosi Miras Berbuntut Panjang, Puluhan Advokat Gugat Holywings Rp 100 Miliar

"Sengkarut masalah tanah itu antara lain disebabkan oleh karena tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani kemelut pertanahan," pungkasnya.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Sumber: PMJ News


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x