Regulasi Jadi Penyebab Lambatnya Kedokteran Nuklir

- 21 November 2020, 16:17 WIB
Ilustrasi Kedokteran Nuklir
Ilustrasi Kedokteran Nuklir /Arahkata.com

 

ARAHKATA - Kedokteran nuklir terdengar awam di telinga maayarakat luas. Namun sesungguhnya, Kedokteran Nuklir Indonesia telah terbentuk Sejak Tahun 1976 silam. Namun, kedokteran ini terlihat lambat berkembang. Selain karena pembiayaan yang cukup besar dalam pengadaan alat dan radiofarmaka-nya, ternyata regulasi juga tidak mendukung pengembangan kedokteran nuklir ini.

Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir dan Teranostik Molekuler Indonesia (PKNTMI) dr. Eko Purnomo, SpKN, TM(K) menjelaskan keterlambatan pada pengembangan kedokteran nuklir adalah akibat pembiayaan tinggi dan regulasi.

"Dana pengadaan alkes dan regulasi menjadi masalah bagi instansi pelayanan kesehatan. Jadi dibutuhkan kebijakan yang mendukung penuh pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia. Misalnya peralatannya jangan dibebani pajak barang mewah alat medis. Seperti di Malaysia, disana itu tidak terkena pajak barang mewah, sehingga harganya bisa murah," kata Eko saat acara online, Jumat (20/11/2020).

Baca Juga: 3T Jadi Satu-Satunya Cara Mengendalikan COVID 19

Hal lainnya, yang disebutkan sebagai kendala adalah kestabilan bahan pengobatan dari produk lokal yang bisa memenuhi kebutuhan bahan pengobatan pasien.

"Waktu awal, sekitar tahun 90an,kami itu mengambil hampir semua bahan pengobatan dari BATAN. Bisa dikatakan 90 persen lah. Tapi semakin lama, mungkin karena peralatan BATAN yang sudah memasuki usia tua sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang ada, akhirnya sekarang kami mulai impor. Saat ini rasionya sekitar 60-40 lah," urainya.

Eko memaparkan kedokteran nuklir merupakan kolaborasi dari ilmu kedokteran dengan ilmu kimia, biologi, fisika dan teknik dengan pengawasan oleh IAEA, Bapeten dan Kementerian Kesehatan.

"Kalau di luar negeri, kedokteran nuklir ini sudah dimulai sejak tahun 1935, yaitu saat Chievitz mempublikasi hasil bone scan metabolisme tulang dan dilanjutkan dengan keberhasilan Seidlin di tahun 1946 yang mengobati kanker tiroid dengan I-131," ujarnya.

Baca Juga: KPU Provinsi Kaltim Belum Bisa Pastikan Rekomendasi Bawaslu Diskualifikasi Salah Satu Paslon

Halaman:

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x