Netizen Heboh Anies Unggah Foto Baca Buku

- 23 November 2020, 14:43 WIB
Anies Baswedan menikmati akhir pekan dengan membaca buku berjudul "How Democracies Die" yang ditulis Steven Levitsky.*
Anies Baswedan menikmati akhir pekan dengan membaca buku berjudul "How Democracies Die" yang ditulis Steven Levitsky.* /Instagram.com/@aniesbasedan/

ARAHKATA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membagikan aktivitasnya di Minggu pagi, 22 November 2020. Hal ini langsung membuat keriuhan netizen yang bertanya ada apa dibalik unggahan itu.

Dalam akun Twitternya @aniesbaswedan, ia mengunggah fotonya saat sedang membaca buku. "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," kicau Anies.

Dalam foto yang dibagikan, Anies mengenakan kemeja putih lengan pendek dan sarung merah marun dengan motif kotak-kotak kecil. Anies duduk dan terlihat membaca buku 'How Democracies Die' bersampul hitam yang senada dengan jam tangan digitalnya.

BacaJuga: Seperti di Film, KKP Ringkus Pelaku Pengebom Ikan

Baca Juga: Bagaimana Kebaradaan Mangrove Sejahterakan Masyarakat ?

Latar belakang rak buku coklat kayu berukuran sedang sejajar dengan rak kabinet yang di atasnya terdapat beberapa foto keluarga. 

Lantas apa sih yang biki heboh dari buku tersebut? Kenapa buku tersebut ramai diperbincangkan warganet di media sosial?

Buku 'How Democracies Die' ialah buku fllsafat politik ditulis oleh duo Profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Zibllat memaparkan demokrasi tidak lagi berakhir dengan cara-cara spektakuler, seperti revolusi maupun kudeta militer.

Namun, menurut mereka demokrasi akan mati secara perlahan dan pasti dengan matinya institusi-institusi kritis, seperti peradilan dan pers, serta pengeroposan norma-norma politik yang telah lama ada.

Baca Juga: Konvoi Koopsus TNI ke Markas FPI, Bang Yos: Jakarta Belum Segenting Itu

Baca Juga: Begini Manfaat Mendengarkan Murottal Quran Bagi Kesehatan Ibu dan Anak

Steven Levitsky dan Daniel Zibllat juga menyebut demokrasi bisa mati karena kudeta-atau mati pelan-pelan karena pemimpin yang otoriter.

Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi.

Dalam ulasannya di Google Books, dijelaskan, ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia.

Baca Juga: Jadi Sukarelawan, Kaum Ibu di Gentasari Patut Dicontoh

Baca Juga: Ada Apa dengan Karbohidrat ?

Dalam buku ini, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyampaikan pelajaran penuh wawasan dari sejarah untuk menerangkan kerusakan rezim selama abad ke-20 dan ke-21. Mereka menunjukkan bahayanya pemimpin otoriter ketika menghadapi krisis besar.

Berdasarkan riset bertahun-tahun, keduanya menyajikan pemahaman mendalam mengenai mengapa dan bagaimana demokrasi mati; suatu analisis pemicu kewaspadaan mengenai bagaimana demokrasi didesak; dan pedoman untuk memelihara dan memperbaiki demokrasi yang terancam, bagi pemerintah, partai politik, dan individu.

"Namun kita bisa melindungi demokrasi kita dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat," tulis ulasan tersebut.

Baca Juga: Pospera Batal Kepung BUMN Hari Ini, Kenapa ?

Baca Juga: Habib Rizieq Dikabarkan Sakit dan Akan Tes Swab Covid-19 Mandiri

Berdasarkan ulasan yang ditulis oleh David Runciman, buku 'How Democracies Die' merangkum perjalanan politik otoriter di berbagai penjuru dunia, dan menemukan pola serupa yang terus berulang.

Para penguasa abad ke-21 tidak melenyapkan konstitusi dan menggantinya dengan tank di jalanan. Mereka berbasa-basi kepada konstitusi sambil bersikap seolah-olah hal itu tidak ada.

Hal itu bisa dilihat, salah satunya, pada cara Vladimir Putin, presiden Rusia, secara legal menukar peran antara Presiden dengan Perdana Menteri, dan dengan demikian tetap taat pada konstitusi, sekaligus mempecundanginya.

Baca Juga: 80 Orang yang Hadir di Acara Habib Rizieq Positif Covid-19

Baca Juga: Anies Tambah Lagi PSBB Transisi, Belum Ada Ganjil Genap

Praktik serupa juga bisa dilihat pada cara penguasa mempertahankan kekuasaannya. Sebut saja semisal Reccep Tayip Erdogan di Turki, Viktor Orban di Hungaria, Nicolas Maduro di Venezuela, dan Narendra Modi di India.

Para penguasa itu memiliki pola yang sama, yakni mereka semua menjatuhkan lawan mereka sebagai kriminal, menunjukkan penghinaan terang-terangan atas kritik di media, memicu teori konspirasi tentang gerakan oposisi, dan mempertanyakan keabsahan suara yang menentang mereka.

Buku 'How Democracies Die', memberikan panduan berdasarkan catatan sejarah, tentang cara mempertahankan norma-norma demokrasi ketika ia berada di bawah ancaman, dan menunjukkan bahwa ancama itu bisa dilawan.

Baca Juga: Geledah Rumah Millen, Polisi Cari Ini

Baca Juga: PKS Minta Pemerintah Siagakan Pengamanan Kawasan Strategis Nasional

Seperti yang terjadi di Belgia pada tahun 1930-an, partai-partai arus utama dapat bersekutu melawan otoritarianisme.

Ketika itu, fasisme di Belgia berhasil dikalahkan berkat kesediaan partai Katolik sayap kanan untuk bergabung dengan kaum liberal.

Sementara itu, sejak Perang Dunia II berakhir, partai-partai sayap kiri dan kanan di Jerman telah menunjukkan kesiapan untuk bekerja sama daripada membiarkan ekstremisme mendapatkan pijakan dalam pemerintahan.

Baca Juga: Heboh Susi Pudjiastuti Tari Piring di Atas Pecahan Beling

Baca Juga: Seekor Cerpelai di Perancis Akan Dimusnahkan karena Terinfeksi Virus Corona

Di Chile, rezim otoriter Augusto Pinochet akhirnya dikalahkan pada 1989 oleh aliansi Demokrat Kristen dan Sosialis, yang bersama-sama berkomitmen untuk memelihara demokrasi.

Dengan demikian, keberlangsungan demokrasi membutuhkan politisi yang ingin menempatkan stabilitas jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek.

Selain juga siap untuk mengakui bahwa akan selalu ada konsekuensi yang harus diterima dari sebuah tindakan yang telah diputuskan.

 

Apa yang dibaca Anies memicu banyak perdebatan warganet di media sosial. Terlebih, politik ibu kota belakangan sedang ramai usai kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Syihab (HRS) ke Jakarta.

Anies, sempat menyambangi HRS usai pentolan FPI tersebut tiba di tanah air pada 10 November lalu.

Namun, pertermuan itu ternyata berbuntut panjang, Anies harus memenuhi panggilan Polda Metro Jaya terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan di acara Peringatan Maulid Nabi dan pernikahan putri HRS yang dihadiri ribuan massa.

Belakangan, TNI juga turun tangan mencopot baliho-baliho yang memasang foto HRS.***

Editor: Mohammad Irawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x