ARAHKATA - Awal tahun 2021menjadi tahun musibah bagi umat muslim di tanah air, selain bencana yang terjadi di beberapa daerah. Kesedihan tentu merundungi para pencinta ulama, yang notabene ilmu mereka bersanad kepada Rasulullah SAW, dan tentunya sebagai pewaris nabi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam dalam sabdanya menegaskan :
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).
Begitu besar posisi para ulama di mata nabi. Nabi mengibaratkan meninggalnya ulama sebagai musibah dalam agama, bahkan laksana bintang yang padam, wajar bila bersedih ditinggal wafat seorang ulama.
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam sendiri menyatakan bahwa tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik”.
Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian.