Kaligis Laporkan Jaksa Ondo Ke KPK, Karena Bertindak Sewenang-Wenang Dalam Kasus Heddy Kandou

26 Januari 2024, 16:04 WIB
Pengacara OC Kaligis /Dok Antara/ARAHKATA

 

 

ARAHKATA – Koordinator Tim Penasehat Hukum Heddy Kandou, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, melayangkan surat ke Ketua dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendesak agar kedua lembaga tersebut.

Menindaklanjuti laporan terhadap Jaksa Ondo Mulatua Pandapotan, SH, MH, selaku Jaksa Penuntut Kasus Heddy Kandou, yang diduga telah bertindak sewenang-wenang, dengan mengintimidasi saksi-saksi Kasus Heddy, dan melindungi Padmasari Metta, yang diduga sebagai pelaku utama dalam Kasus Heddy.

Surat dilayangkan pada Kamis siang, 25 Januari 2024, dan mendesak agar Jaksa Ondo segera diperiksa KPK, karena tidak juga menjadikan Padmasari sebagai tersangka.

Baca Juga: Hobi Nonton Film Anime, Kasir Indomaret dapat Reward Trip Gratis ke Jepang!

Menurut Kaligis, pihaknya telah melaporkan Jaksa Ondo tersebut ke KPK, pada 5 Januari 2023, namun belum ada tindak lanjut hingga Kamis ini, 25 Januari 2024.

Karena itu, pihaknya kembali melayangkan surat pelaporan tersebut, pada Kamis, 25 Januari 2023.

Dijelaskannya, dalam Kasus Heddy ini, pihaknya menduga yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam Kasus Heddy ini adalah Padmasari Metta, berdasarkan keterangan kelima orang saksi dalam kasus tersebut.

Baca Juga: KPK: Dugaan Korupsi Anak Buah Cak Imin Rugikan Negara Rp 17,6 Miliar

“Mohon tindak lanjut atas laporan kami, terhadap Padmasari Metta, selaku Pelaku Utama yang dilindungi, dengan tidak dijadikan tersangka, oleh Jaksa Ondo dan atas dugaan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, terhadap tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Jaksa Ondo, yang kami ajukan melalui surat kami No. 15/OCK.I/2024, tertanggal 5 Januari 2024,” kata Kaligis.

Diuraikannya, berdasarkan Pasal 108 KUHAP, mewajibkan semua orang, yang mengetahui kejahatan untuk melaporkan kejahatan tersebut kepada pihak yang berwajib.

Bila seorang pejabat melanggar hukum acara, maka dapat dikatakan, tindakan tersebut merupakan Kejahatan Jabatan berdasarkan Pasal 421 KUHP, yang mengatur :

Baca Juga: Tegas! Menlu Retno Walk Out saat Dubes Israel Pidato di Forum DK PBB

“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”;

“Sebagai pendukung laporan kami, melalui surat ini, kami ingin menyampaikan keterangan yang dinyatakan dimuka persidangan, yang terbuka untuk umum, dalam perkara No. 85/PID.SUS-TPK/2023/PN.Jkt.Pst, pada tanggal 15 Januari 2024, dimana Saksi Moch. Rizal Otoluwa (Direktur PT. Quartee Technologies) dan Saksi Rinaldo (Dirut PT. Interdata Technologies Sukses) mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Jaksa Ondo diduga telah melakukan intimidasi kepada mereka dan mengancam dengan mengatakan, agar berpihak ke Jaksa, karena Jaksa Ondo telah bicara dengan hakim dan sudah sepakat, apabila tidak sejalan dengan Jaksa, maka tuntutan mereka akan tinggi,” ujar Kaligis.

Dan benar saja, kata Kaligis, Moch. Rizal Otoluwa akhirnya divonis 10 tahun penjara dan Rinaldo divonis 12 tahun penjara, sedangkan pihak dari PT. Telkom divonis paling tinggi lima tahun penjara saja.

Baca Juga: Menko Luhut Geram Ucapan Cak Imin sebut Hilirisasi Ugal-ugalan, Bohongi Publik

Selain itu, dimuka persidangan tersebut juga, Heddy Kandou menyampaikan ke hadapan hakim, bahwa dirinya memperoleh informasi berupa laporan masyarakat, bahwa ada dugaan sejumlah uang yang mengalir ke oknum Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, sebesar Rp. 8 Miliar, diduga dari oknum Legal PT. Telkom, saat pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.

Ditambahkan Kaligis, di dalam Laporan kuasa hukum, pada tanggal 5 Januari 2024, didalam perkara No. 85/PID.SUS-TPK/2023/PN.Jkt.Pst, kliennya, Heddy Kandou dituduh melakukan tindak pidana korupsi melanggar pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atas dasar Heddy Kandou dianggap mencampuri urusan pengadaan barang dan jasa.

Dimana pada kenyataannya, hal tersebut tidak dilakukannya, berdasarkan bukti pernyataan dari lima saksi, yang menyatakan, bahwa yang aktif dalam pengadaan barang dan jasa adalah Sdri. Padmasari Metta.

Baca Juga: Bikin Geger! Khofifah Sebut Prabowo-Gibran Seperti Sahabat Nabi

“Melalui lima Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi, terbukti pelaku utama dalam kasus ini adalah Padmasari Metta,” ujar Kaligis. Dimana dalam BAP Moch. Rizal Otoluwa (Direktur PT. Quartee Technologies), pada 7 September 2023, Rizal menyebut pada BAP No.12,

“Saya tidak tahu, namun semua pembahasan terkait kontrak dan lainnya antara PT Quartee dengan PT Telkom adalah PADMASARI dengan Oky Mulyades dan Iwan Setiawan, saya hanya menandatangani kontrak yang disodorkan oleh PADMASARI”.

Dan pada BAP No.16, Rizal menyebut, “Saya tidak tahu, karena yang membahas terkait hal tersebut adalah PADMASARI dengan pihak Telkom”. Demikian juga, dalam BAP No.17, Rizal mengatakan, “Yang melakukan pembicaraan adalah PADMASARI dan pihak Telkom” dan dalam BAP No.23, Rizal mengatakan, “setahu saya ada pemberian PADMASARI kepada Elisa Danardono (Donny) berupa cek Bank BCA sebanyak 2 (dua) kali yang nilainya sekitar Rp. 400.000.000,- dan Rp. 200.000.000,- namun saya tidak tahu apakah hal tersebut dapat dikategorikan pemberiaan (fee), karena PADMASARI memberitahu kepada saya untuk pembayaran”.

Baca Juga: KPU: Presiden Boleh Kampanye Jika Cuti dan Tak Gunakan Fasilitas Negara

 

Sedangkan Saksi Rinaldo (Dirut PT. Interdata Technologies Sukses), pada BAP No.20 tertanggal 7 September 2023, memberikan keterangan,

“Dari pihak Interdata petugas yang hadir adalah Selina, namun yang menjelaskan status barang pada saat itu sebagai milik PT Interdata adalah PADMASARI dari Quartee….”.
Dan Saksi Sosro H. Karsosoemo, ST (karyawan BUMN Telkom) pada BAP No.16 tertanggal 4 September memberikan keterangan, “…yang ketiga selain konsumen (PT. Quartee) melalui Sdri. PADMASARI METTA meyakinkan tim saya bahwa Quartee telah menerima barang…dstnya”.

“Melalui kesaksian lima orang tersebut diatas, terbukti Padmasari Metta-lah yang mestinya dijadikan tersangka selaku pelaku utama, karena terbukti aktif menghubungi PT. Telkom dan membuat serta menyediakan dokumen-dokumen. Akan tetapi Padmasari Metta, justru didalam berkas hanya dijadikan saksi dalam perkara ini. Dari informasi yang kami peroleh, Padmasari Metta diduga dilindungi oleh Jaksa Ondo sehingga sampai dengan saat ini tidak ditetapkan sebagai Tersangka,” tegas Kaligis.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sebut Boleh Memihak di Pilpres 2024, Menuai Polarisasi Makin Tajam

Faktanya, kata Kaligis, justru kliennya (Heddy Kandou), yang dijadikan tersangka.

Padahal Heddy tidak ikut terlibat dalam proyek Telkom, bahkan tidak ada satu pun dokumen-dokumen termasuk perjanjian kerjasama antara PT Quartee Technologies dengan PT. Telkom yang ditandatangani oleh Heddy Kandou.

“Sebaliknya, sekalipun berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi-Saksi diantaranya Moch. Rizal Otoluwa, Stefanus Suwito Gozali, Syehlina Yahya, Rinaldo dan Saksi Sosro H. Karsosoemo, ST, yang ada dalam berkas JPU, menyatakan justru PADMASARI METTA sebagai pihak yang aktif dalam proses pengurusan dokumen serta berkomunikasi dengan pihak PT Telkom sehubungan dengan proses pelaksanaan proyek pengadaan barang antara PT. Quartee Technologies dengan Divisi Enterprise Service (DES) PT. Telkom tersebut. Namun sampai dengan saat ini Padmasari Metta sebagai pelaku utama yang aktif dalam perkara a quo tidak dijadikan tersangka oleh Jaksa Ondo, tetapi justru dilindungi,” kata Kaligis.

Baca Juga: Hasto Sebut Kader PDIP Siap Angkat Koper dari Kabinet Tapi Ditahan Megawati

Berdasarkan hal tersebut diatas, ujar Kaligis, dan untuk mencegah tindakan sewenang-sewenang yang dilakukan oleh Jaksa Ondo dan demi objektivitas serta profesionalisme didalam pemeriksaan perkara yang sedang disidik, maka pihaknya mohon agar Padmasari Metta ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan pemeriksaan terhadap Jaksa Ondo atas dugaan tindak pidana Kejahatan Jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP.

Seperti diketahui, Heddy Kandou (Direktur PT. Haka Luxury) dijadikan tersangka dan kemudian terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, dalam pengadaan barang dan jasa antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara, pada tahun 2017-2018, senilai Rp. 232 miliar. Kasusnya saat ini terus bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, dan memasuki tahapan mendengarkan keterangan saksi ahli.

Dalam Kasus Heddy Kandou ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu, 24 Januari 2023, mendengarkan keterangan saksi ahli, Prof. Dr. Dadang Suwanda, SE, MM, MAk, Ak, CA, sebagai Guru Besar (Profesor) pada IPDN Jatinangor Sumedang.

Baca Juga: BNN Musnahkan 22 Ribu Batang Seluas Dua Hektar Ganja di Kawasan Aceh Utara

Dalam keterangannya, Dadang mengatakan, jika anak Perusahaan BUMN, menggunakan atau mengelola dana Perusahaan, yang sumber dananya, bukan berasal dari perusahaan BUMN yang merupakan induknya, maka hal tersebut adalah merupakan keuangan perusahaan dan bukan merupakan kerugian negara.

“Yang perlu diperhatikan adalah darimana sumber dana atau uangnya. Jika uangnya berasal dari perusahaan anak, maka hal tersebut berarti uangnya adalah dari perusahaan anak dan bukan perusahaan induknya,” ujar Dadang.

Dijelaskannya, pada transaksi antar Perusahaan, yaitu antara suatu perusahaan swasta, yang mengadakan kerjasama pengadaan barang dan jasa, dengan anak perusahaan BUMN, dan perusahaan swasta lainnya, jika kemudian terjadi gagal bayar atau hutang piutang dalam transaksinya maka hal tersebut bukan merupakan kerugian negara.

Baca Juga: Eko Sambodo: Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Kasus Korupsi Hanya Dilakukan BPK

“Harus dipisahkan antara keuangan perusahaan dengan keuangan negara. Keuangan yang dikelola oleh BUMN itu adalah keuangan BUMN, bukan keuangan negara. Jadi jika terjadi kerugian, itu adalah kerugian perusahaan, bukan kerugian keuangan negara. Kerugian negara baru akan timbul, jika hak negara tidak didapat. Misalnya pembagian laba dari keuntungan perusahaan yang disebut deviden, pajak, retribusi, dan lain lain,” ujar Dadang.

Dalam sidang, Dadang juga mengatakan, terdapat perbedaan antara audit investigasi dengan audit penghitungan kerugian keuangan negara. Karena itu dalam menghitung kerugian keuangan negara harus jelas menggunakan jenis audit yang mana.

“Audit awalnya cuma dua yaitu audit keuangan dan audit opersional. Di BPK, audit tersebut kemudian berkembang menjadi audit keuangan, audit dengan tujuan tertentu dan audit kinerja.

Baca Juga: Relawan Jokowi Dukung PSI Siap Mengawal RUU Perampasan Aset dan Uang Kuartal Negara

Audit dengan tujuan tertentu berkembang menjadi tiga, yaitu audit kepatuhan, audit investigasi dan audit penghitungan kerugian keuangan negara.

Jadi beda antara audit investigasi dengan audit penghitungan kerugian keuangan negara. Audit investigasi dilakukan pada saat tahapan penyelidikan, sedang audit penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan pada saat tahapan penyidikan,” tukas Dadang.

Jika terjadi Tindak Pidana Korupsi, aturan yang digunakan untuk menghitung kerugian negara adalah SEMA No. 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tanggal 09 Desember 2016.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sebut Boleh Memihak di Pilpres 2024, Menuai Polarisasi Makin Tajam

Sesuai dengan aturan tersebut yang bisa mendeclare adanya kerugian negara hanya BPK. Dan sesuai dengan MK No.25/PUU/XIV/2016 jumlah kerugian negara harus pasti. Jadi yang berwenang menentukan adanya kerugian negara, kata Dadang, adalah BPK.

“Jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka JPU bisa mendakwa dan menyatakan adanya kerugian negara terhadap seorang terdakwa adalah atas hasil audit yang dilakukan oleh BPK. Jika tidak ada LHP BPK, maka JPU tidak bisa mendakwa seseorang karena tidak ada dasar acuan dan dianggap melanggar prosedur,” ujar Dadang.

Pada saat melakukan pemeriksaan, seorang auditor harus melakukan audit sesuai standar audit, dilakukan secara independensi, melakukan secara professional antara lain melakukan wawancara atau klarifikasi kepada pihak terkait.

Baca Juga: Berbahaya! Prabowo-Gibran Dijegal Tiga Skenario Hitam Diungkap TKN

“Dalam melakukan suatu perkara, sebaiknya JPU tidak menggunakan auditor internal (SPI) dari pihak yang berperkara, karena jika audit dilakukan oleh internal dari perusahaan tersebut, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena pihak internal tidak punya kewenangan.

Jika diibaratkan, didalam suatu ruangan seorang hakim sedang memeriksa suatu perkara. Diluar persidangan banyak para pakar termasuk beberapa professor yang notabene merupakan dosen dari hakim tersebut.

Pertanyaannya kemudian apakah pakar dan para profesor bisa memutuskan perkara tersebut? jawabnya adalah tidak, karena kewenangan melekat pada hakim tersebut, bukan para pakar ataupun para professor,” tukas Dadang.

Baca Juga: Prabowo-Gibran Kampanye Gaungkan Program Pemutihan Utang Petani dan Nelayan

Dalam menghitung besarnya kerugian negara, dasar aturan yang digunakan adalah menjadi kewenangan BPK, berdasarkan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, serta Surat Edaran MA No.4 Tahun 2016, yang menyebutkan yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara adalah BPK.

Sedangkan saksi ahli hukum pidana, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, S.H., M.Hum, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tanggal 09 Desember 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah AgungTahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan mengamanatkan, bahwa yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara hanya BPK RI.

“Jika LHP BPK RI tidak menyebutkan adanya permasalahan atau temuan, tentang adanya perbuatan melanggar Administratif yang menyangkut dengan aspek hukum maka APH tidak bisa melakukan pemeriksaan.

Baca Juga: Dewi Hughes Bertekad Kuat Miliki Tubuh Langsing Menjalani Hipnoterapi

Mengacu kepada peraturan tersebut, seharusnya APH menunggu hasil BPK RI baru melaksanakan penyelidikan dan penyidikan. Jadi APH tidak dapat melakukan pemeriksaan,” kata Mompang.

Jika BPK tidak melakukan pemeriksaan dan didalam Laporan Hasil Pemeriksaannya tidak menyebutkan adanya temuan tentang kerugian Negara yaitu tidak menyebutkan adanya Perbuatan Melanggar Administratif.

Karena yang mempunyai kewenangan menentukan kerugian negara adalah BPK.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Tags

Terkini

Terpopuler