Setara Institute: Keppres 17/2022 Bukan Cara Konstitusional Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

22 September 2022, 09:14 WIB
Ketua Setara Institute Hendardi /Setara Institute/

ARAHKATA – Setara Institute menolak keras kehadiran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).

Penolakan itu dinilai karena kehadiran Keppres ini menjadi bagian dari pembakuan impunitas atas berbagai pelanggaran HAM, mengubur kebenaran peristiwa, dan memutihkan sejumlah pelaku yang diduga aktor pelanggaran HAM berat.

"Keppres ini bukanlah cara Jokowi (Presiden Joko Widodo) mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," kata Ketua Setara Institute Hendardi melalui siaran pers yang dikutip ArahKata.com, Rabu, 21 September 2022.

Baca Juga: Mensos: Silakan Lapor Jika Ada Pemotongan BLT BBM Kepada Aparat Hukum

Menurut Hendardi, Keppres ini adalah pemutihan kolektif berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, sekaligus instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik dengan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Dia juga mengatakan, desain Keppres ini bukanlah cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu.

Sebabnya, sambung Hendardi, syarat utama penyelesaian non-yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru.

Baca Juga: Presiden Jokowi Senang atas Prestasi Timnas Sepak Bola Amputasi Lolos ke Piala Dunia 2022

"Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim bentukan Jokowi ini," ujar Hendardi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan diumumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, Keppres tersebut baru ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022.

Menurut Hendardi, sekalipun itu merupakan ketidakjujuran teknis, tetapi jelas menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM ini bukan sepenuhnya datang dari diri Jokowi tetapi dari orang-orang di sekeliling Jokowi yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Baca Juga: Sekjen Hasto Menepis Isu Pembentukan Dewan Kolonel PDIP

Dia mengatakan, kebijakan kontroversial dan tidak berkeadilan ini hanya bisa dimungkinkan terbit saat seorang Presiden tidak memiliki kecukupan kapasitas dan tidak memiliki pemahaman utuh atas persoalan kemanusiaan.

"Juga pada saat seorang Presiden tersandera oleh banyak variabel kepentingaan; termasuk sikap obsesif menjabat 3 periode atau memperpanjang masa jabatannya," ujar Hendardi.

Di lain sisi, dia menilai, penegasan bahwa cakupan peristiwa yang akan diselesaikan secara non-yudisial ini berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020 menunjukkan ketidakpatuhan Presiden Jokowi pada mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memerintahkan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah undang-undang tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.

Baca Juga: Polda Riau Gagalkan Peredaran 203 Kg Sabu dan Ribuan Pil Ekstasi Serta 16 Tersangka

Menurut dia, tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Presiden Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial.

"Tidak ada yang bisa diharapkan dari Tim yang dibentuk Jokowi. Apalagi dengan sejumlah anggota Tim yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia," ujar dia.

Bahkan, sergahnya kemudian, salah satu anggota Tim, jelas masuk dalam list PBB sebagai pejabat tinggi TNI yang sangat kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

Baca Juga: PWI Jabar Desak Kepolisian Usut Tuntas Dugaan Penganiayaan Dua Wartawan di Karawang

Dengan komposisi Tim semacam ini, langkah Presiden Jokowi tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional.

"Langkah ini hanya akan mencetak prestasi absurd bagi Jokowi sekaligus berpura-pura bertanggung jawab," ujarnya.

Dia juga menilai, basa-basi penuntasan pelanggaran HAM sudah tergambar jelas pada tubuh pemerintahan Jokowi. Ia menyontohkan pelanggaran HAM di Paniai, yang hari ini, Rabu, 21 September 2022, dimulai persidangannya di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan telah menjadi alarm serius bahwa politik penegakan HAM di Indonesia tengah mengalami kebuntuan.

Baca Juga: Pakar ITB: Semua Kemasan Plastik Berpotensi, Diskriminatif Melabeli Bahaya Satu Jenis Kemasan

"Bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim 1705/Paniai," pungkas Hendardi heran.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi baru saja membentuk Tim PPHAM yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.

Tim Pengarah dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku ketua dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai wakil ketua.

Baca Juga: Kohati PB HMI Minta Connie Bakrie Setop Provokasi TNI

Anggota Tim Pengarah terdiri dari empat orang, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Sedangkan Tim Pelaksana berjumlah 12 orang, termasuk ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota.

Ketua Tim Pelaksana ialah Makarim Wibisono, lalu Wakil Ketua Tim Pelaksana diisi oleh Ifdhal Kasim, sedangkan Suparman Marzuki menjabat sebagai Sekretaris Tim Pelaksana.***

Editor: Wijaya Kusnaryanto

Sumber: Setara Institute

Tags

Terkini

Terpopuler